Sunday 29 April 2007

Arti Penting Pasal 1 ayat (1) KUHP


Dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tersimpul “ tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) sebelum ada undang-undang yang mengatur tentang suatu perbuatan tersebut (asas legalitas) “ . Dari kalimat tersebut dapat diartikan suatu perbuatan baru dapat dipidana apabila telah ada aturan yang menentukan dapat dihukum atau tidaknya suatu perbuatan tersebut, hal tersebut juga bermakna “lex temporis delicti” artinya suatu perbuatan pidana hanya dapat diadili menurut undang-undang pada saat perbuatan itu dilakukan, yang dimaksud disini ialah undang-undang yang mengatur bahwa dapat dipidana atau tidaknya seseorang tudak berlaku surut (mundur).

Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa : dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya.

Namun menurut Utrech : hal ini akan menyulitkan hakim pidana yang mengadili, apabila suatu perbuatan itu patut dipidana namun tidak dapat dipidana (tidak ada ketentuan pidanaya).

Tuesday 24 April 2007

"Perluasan Kompetensi Lembaga Peradilan Agama"



Dewasa ini seringkali muncul berbagi permasalah hukum yang sangat kontroversial, terutama mengenai kompetensi ( kewenagan ) lembaga peradilan yang memeriksa, mengadili, dan memuts perkara masalah hukum yang muncul tersebut. Dalam UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, memang telah menetukan dengan jelas mengenai kompetensi tiap - tiap lembaga peradilan di indonesia, mulai dari pengadilan tingkat pertama ( pengadilan negeri / umum ) sampai dengan pengadilan pada tingkat kasasi ( mahkamah agung ).
Dalam hal kompetensi atau kewenagan pada tiap lembaga peradilan menurut saya masih perlu adanya beberapa pembenahan, khususnya pada lembaga perdilan agama, yang memiliki kompetensi memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa terhadap orang yang beragama islam dalam hal, perkawinan, talak, warisan, hibah dan lain sebagainya. Namun sekali menurut saya tentang kewenagan lembaga pengadilan tersebut perlu diperluas lagi, tidak hanya dalam hal yang telah saya sebutkan tadi.
Saya ambil satu contoh kasus misalnya ; sepasang remaja yang menjalin hubungan asamara (pacaran) dan hubungan itu telah berlangsung cukup lama, hingga mereka melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (berhubungan intin diluar nikah) hingga pada akhirnya menyebabkan pasanga wanita tersebut hamil semantara dari pihak laki-laki begitu saja melepaskan tanggung jawabnya terhadap pasanganya yang telah hamil tersebut. Sehingga jelas dalam hal ini pihak wanita lebih dirugikan.
dari contoh kasus tersebut, bila kita lihat masalah tersebut dapat masuk dalam perkara perdata maupun pidana, namun dalam perkara pidana menurut saya masih rancu ( samar ) artinya sepintas dari kasus tadi tidak ada unsur paksaan dan ancaman serta dari pihak laki-laki maupun wanita sudah sama-sama dewasa. dalam hal ini ancaman pidanaya hanya dalam hal pelanggaran kesusilaan yang tentunya tidak sebanding dengan kerugian dari pihak wanita.
Dalam hal perkara perdata jelas sulit sekali menerapkan peraturan hukum yang dapat menjerat perbuatan tersebut.
Dari analisis tadi dapat ditarik kesimpulan, mengenai kompetensi (kewenagan) memeriksa, mengadili dan memutus perkara tadi adalah pengadilan negeri (umum) tingkat pertama, baik dalam perkara perdata maupun pidana, yang didalam perkara tadi juga terdapat pelanggaran norma-norma agama.
Dalam hal tersebut seharusnya lembaga peradilan agama juga diberi kewenagan (kompetensi) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebur diatas, sepanjang kedua belah pihak sama-sama beragama islam, hal ini dimaksud agar lebih mudah menerapkan hukuman yang layak atau setimpal terhadap pelanggaran tersebut, tentunya dapat menggunakan hukum-hukum yang ada dalam islam dan tidak bertentangan peraturan perundangan yang ada di indonesia.