Saturday 5 April 2008

PENALARAN HUKUM DALAM SUDUT PANDANG KELUARGA SISTEM HUKUM DAN PENSTUDI HUKUM

Shidarta

ABSTRACT
Legal reasoning is the spirit of any legal decision making. Such reasoning fully depend s
on the model of rationality used by the decision maker. In fact, there are more than one
models of rationality in which legal reasoning can be identified. These models can be
traced back to the characteristics of common law and civil law as two dominant family
legal systems in the world today. Besides, the positions of legal researchers also play a
significant role in determining the form and process of legal reasoning. Before
introducing some major models of rationality, this article discusses the two kinds of legal
perspectives in legal reasoning. The discourse of some models will be published in
another issue of this journal.
Kata kunci: penalaran hukum, keluarga sistem hukum, penstudi hukum.
I. PENGANTAR
“The object of a scientific inquiry is discovery; the object of a legal inquiry is
decision,” demikian kutipan Visser’t Hooft yang diambilnya dari penulis Inggris A.G.
Guest.1 Beranjak dari ungkapan itu, mereka sesungguhnya ingin menegaskan bahwa
penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir
ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil
MacCormick, “... legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the
application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in
situations of choice.”2
Namun, tipe argumentasi problematis (topikal) seperti dikemukakan itu bukan satusatunya
jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir
secara aksiomatis (sistemis). Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses berpikir yang
bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak diragukan, melalui mata rantai yang bebasragu,
sampai kepada kesimpulan yang mengikat (konklusif). Proses ini, menurut B. Arief
Sidharta, mengacu pada model pengetahuan yang pasti, yang digambarkan dengan sistem
1 H. Ph. Visser’t Hooft, Filsafat Ilmu Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Penerbitan tidak
berkala No. 4 Laboratorium Hukum FH Unpar, 2002), hlm. 23.
2 Neil MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1994), hlm. ix.
2
yang puncaknya berupa seperangkat aksioma yang eviden. Selanjutnya, melalui mata
rantai perantara yang bebas-ragu dijabarkan aksioma itu ke dalam suatu keseluruhan
putusan yang detail. Tipe argumentasi ini mencerminkan usaha yang sudah tertanam
dalam pikiran manusia. Dalam hal ini diusahakan untuk menemukan landasan dan
pembenaran atas suatu pendapat, dan diusahakan juga kesatuan, kesalingterkaitan,
kebertatanan (stelselmatigheid ). Tipe ini dibedakan dengan kutub lawannya, yakni
berpikir problematis. Tipe argumentasi yang disebutkan terakhir ini adalah berpikir dalam
suasana yang di dalamnya tidak ditemukan kebenaran bebas-ragu. Dalam pertentangan
pendapat menurut tipe argumentasi ini, masalahnya bergeser dari hal menentukan “apa
yang konklusif” menjadi “apa yang paling dapat diterima” (acceptable; pluasible). Untuk
itu lalu diajukan alasan-alasan untuk mendukung pendapat tertentu yang kekuatannya
diuji dalam diskusi.3
Uraian di atas mengawali suatu deskripsi yang agak panjang lebar dalam tulisan ini
tentang berbagai aspek seputar karakteristik penalaran hukum. Penalaran hukum adalah
kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai mahluk individu dan
sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak
mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi
penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas dari putusannya
dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang
dilakukan harus me ngikuti asas penataan ini, sehingga putusan-putusan itu (misalnya
antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dalam mengadili kasus serupa) relatif
terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan pandangan ini, dengan
mengutip Ter Heide, B. Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam penalaran
hukum sebagai “berpikir problematikal tersistematisasi” (gesystematiseerd
probleemdenken).4
Term “subjek hukum” yang disebutkan di atas perlu diberi aksentuasi tersendiri,
karena menunjukkan bahwa kegiatan berpikir ini adalah aktivitas terfokus yang hanya
menyoroti problema yang relevan dengan kepentingan (kedudukan dan peranan) para
3 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia
(Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 163.
4 Ibid., hlm. 164.
3
subjek hukum, bukan sebagai subjek dalam konteks lain. Artinya, problema hukum
adalah problema kepentingan manusia sebagai mahluk berbudaya.
Pada dasarnya semua subjek hukum mampu melakukan penalaran hukum ini, namun
aktivitas yang terfokus seperti itu secara intens merupakan ladang bergelut para
pengemban hukum, lebih khusus lagi di sini adalah para hakim sebagai pengambil
keputusan (legal decision maker) untuk kasus-kasus konkret di lembaga yudikatif. Dalam
uraian selanjutnya, penalaran hukum akan banyak dititikberatkan pada penalaran hukum
oleh hakim. Kendati begitu, mengingat kedudukan dan peranan pembentuk undangundang
(pengemban hukum di lembaga legislatif) juga menonjol, terutama di negaranegara
yang berada di jajaran keluarga sistem civil law seperti halnya Indonesia, maka
penalaran hukum dalam proses pembentukan hukum pun akan mendapatkan porsi
bahasan tersendiri, yang karena keterbatasan tempat tampaknya belum sempat tersajikan
dalam tulisan ini.
Tulisan ini akan diisi dengan gambaran tentang sudut-sudut pandang yang dapat
digunakan oleh para subjek penalar dalam melakukan proses penalaran hukum. Ada dua
sudut pandang yang disampaikan, yaitu sudut pandang dari keluarga sistem hukum
(parent legal system ) dan sudut pandang partisipan (medespeler) versus pengamat hukum
(toeschouwer). Kedua dimensi sudut pandang tersebut seringkali diabaikan para teoretisi
pengkaji masalah penalaran hukum, padahal sesungguhnya keduanya berkorelasi erat
dengan karakteristik penalaran hukum, termasuk berbagai model penalaran yang muncul
kemudian.
Sudut pandang yang dikemukakan di atas berguna dalam rangka membahas aspekaspek
kunci yang harus dipahami sebelum seseorang memasuki lebih jauh kajian
penalaran hukum tersebut. Aspek-aspek tersebut mencakup modalitas dalam kajian
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis menyoroti pemaknaan hakikat
hukum, sementara aspek epistemologis lebih terkait kepada persoalan-persoalan
metodologis. Di sisi lain, aspek aksiologis mengacu pada tujuan-tujuan yang ditetapkan
dalam penalaran hukum itu. Semua aspek kunci ini pada akhirnya akan meletakkan pola
dasar pada model-model penalaran hukum, yang lazim disebut kerangka orientasi
berpikir yuridis.
4
Apa yang dimaksud dengan kerangka orientasi berpikir yuridis ini tidak lain adalah
aliran-aliran yang lazimnya digunakan oleh para pengkaji filsafat hukum. Oleh karena itu,
kerangka orientasi berpikir yuridis tadi biasa disebut juga aliran-aliran filsafat hukum.
Pada kesempatan ini, secara khusus dipetakan enam konfigurasi aliran filsafat hukum,
yang semuanya merupakan hasil pengklasifikasian klasikal. Paparan tentang aliran-aliran
filsafat hukum ini sangat relevan dipahami oleh setiap penstudi hukum, mengingat
penalaran hukum ini sendiri adalah salah satu objek telaah cabang disiplin hukum yang
disebut teori hukum (jurisprudence), dan hasil kajian teori hukum itupun antara lain
nantinya diarahkan untuk membantu pemahaman filsafat hukum. Kaitan kedua bidang ini
demikian erat, seperti kata Visser’t Hooft, bahwa suatu teori hukum yang dipahami
dengan baik, tidak mungkin ada tanpa filsafat hukum.5 Kiranya, kondisi sebaliknya pun
demikian.
Karena keterbatasan ruang dalam jurnal ini, keterkaitan antara keluarga sistem hukum
dan masing-masing posisi penstudi hukum dalam rangka penggunaan suatu model
penalaran hukum, tidak akan dibahas. Topik ini akan menjadi objek bahasan pada edisi
lain dari jurnal ini.
II. SUDUT PANDANG
Pola-pola penalaran hukum sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek
yang melakukan kegiatan penalaran. Sudut pandang inilah yang kemudian bermuara
menjadi orientasi berpikir yuridis, yakni berupa model- model penalaran di dalam disiplin
hukum, khususnya sebagaimana dikenal luas sebagai aliran-aliran filsafat hukum. Apa
yang dimaksud dengan sudut pandang di sini, dengan demikian, merupakan latar
belakang subjektif dari suatu kerangka orientasi berpikir yuridis.
Uraian tentang sudut pandang di bawah ini mencakup dua kategori. Pertama,
pembedaan sudut pandang penalaran hukum dilihat dari aspek makro, yaitu dari sudut
keluarga sistem hukum (parent legal system). Kedua, pembedaan tersebut didasarkan
pada sudut pandang partisipan (medespeler) dan pengamat (toeschouwer).
5 H. Ph. Visser’t Hooft, Op. Cit., hlm. 1.
5
1. Keluarga Sistem Hukum
Kata “sistem” merujuk kepada banyak pengertian. Secara sederhana kata ini berarti
sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk
melakukan suatu maksud,6 atau “Group of things or part working together in a regular
relation.”7 Definisi yang kurang lebih sama diberikan oleh Black’s Law Dictionary, yang
mengartikan sistem sebagai “Orderly combination or arrangement, as of particulars,
parts, or elements into a whole; especially such combination according to some rational
principle.”8
Banyak unsur-unsur yang terjalin dalam suatu sistem. Hal ini terlihat pada hukum
sebagai suatu sistem. Sudikno Mertokusumo mengibaratkan sistem hukum sebagai
gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk
kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masingmasing
bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain, tetapi kait
mengait dengan bagian-bagian lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar
kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi.
Kalau sampai terjadi konflik, maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu
sendiri.9
Sistem hukum, sebagaimana tampak dari uraian di bawah, adalah sistem yang
terbuka, dalam arti dipengaruhi dan mempengaruhi sistem-sistem lain di luar hukum.
Tidak mengherankan apabila di antara sistem-sistem hukum itu terdapat persamaan
sekaligus perbedaan. Ciri-ciri yang sama inilah yang kemudian menjadi dasar
pengklasifikasian sejumlah sistem hukum itu ke dalam suatu keluarga sistem hukum
(parent legal system ).
Dalam pembahasan berikut ini, ingin ditunjukkan bahwa keluarga sistem hukum
memainkan peranan penting dalam menentukan model- model penalaran yang disajikan
dalam kerangka orientasi berpikir yuridis. Hal ini disebabkan beberapa alasan sebagai
berikut:
6 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 955.
7 A.S. Hornby et al., The Advance Learner’s Dictionary of Current English, ed. 2 (London: Oxford
University Press, 1973), hlm. 1024.
8 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, ed. 6 (St. Paul: West Publishing, 1990), hlm. 1450.
9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), ed. 3 (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm.
102–103.
6
a. Keluarga sistem hukum merupakan produk historis, yakni wujud pergumulan nilainilai
budaya, sosial, politik, ekonomi, dan berbagai aspek nilai lainnya yang
diakomodasi ke dalam sistem hukum suatu negara atau bagian dari suatu negara.
Sistem hukum Indonesia, misalnya, terbentuk dari pergumulan nilai- nilai yang
sebagian besar disokong oleh corak keluarga Eropa Kontinental (Romawi-Jerman
atau Civil Law System). Kehadiran corak keluarga sistem hukum ini merupakan
produk historis yang dibawa oleh Kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah
ke dalam aspek substansi, struktur, dan budaya hukum Indonesia itu sampai sekarang.
b. Keluarga sistem hukum meletakkan dasar bagi pola perkembangan (pembangunan)
selanjutnya dari suatu sistem hukum (the visions of law). Sebagai contoh, ada
keluarga sistem hukum yang lebih memberi tekanan pada pembangunan substansi
hukumnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan daripada yurisprudensi, dan
hal ini dengan sendirinya membawa pengaruh pada pola pembangunan hukum
(khususnya hukum positif) suatu negara yang berada dalam keluarga sistem hukum
tersebut.
c. Keluarga sistem hukum memperagakan karakteristik tertentu dari pengembanan
hukum (rechtsbeoefening) baik pengembanan hukum praktis maupun teoretis. Dari
sudut pengembanan hukum teoretis, keluarga sistem hukum memberi pengaruh tidak
kecil terhadap sikap ilmiah para ahli hukum (sebagai bagian dari ethnos atau
komunitas ilmuwan), misalnya tatkala mereka dihadapkan pada suatu tata nilai,
gagasan, atau perkembangan baru. Keluarga sistem hukum ikut membentuk sikap
ilmiah para ilmuwan pendukungnya, sehingga ada yang cenderung lebih konservatif
atau sebaliknya.10 Sementara dari aspek pengembanan hukum praktis (pembentukan,
penemuan, dan bantuan hukum), terkait persoalan-persoalan teknis yang khas.
Sebagai konsekuensinya, jika ada dua negara yang berasal dari keluarga hukumnya
berlainan, sangat besar kemungkinannya masing-masing menggunakan metode atau
10 Tumbangnya epistemologi akibat serangan Posmodernisme, misalnya, ternyata lebih banyak direspons di
negara-negara Anglo Saxon daripada negara -negara bertradisi lainnya. I. Bambang Sugiharto menulis,
“Tidak terlalu salah bila kita katakan bahwa kini, terutama di wilayah Anglo-saxon, epistemologi telah
‘babak belur’ mendapat serangan dari segala sudut.” Lihat I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme:
Tantangan bagi Filsafat, cet. 4 (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 68.
7
teknik pengembanan hukum yang berbeda pula. Mengenai hal ini René David dan
John E.C. Brierley menambahkan:11
From the technical standpoint, it is advisable to ask whether someone educated
in the study and practice of one law will then be capable, without much
difficulty, of handling another. If not, it may be concluded that the two laws do
not belong to the same family; this may be so because of differences in the
vocabularies of the two laws (they do not express the same concepts), or
because the hierarchy of sources and the methods of each law differ to a
considerable degree.
Istilah keluarga sistem hukum (parent legal system ) biasa dipergunakan oleh para ahli
perbandingan hukum (legal comparatists) untuk menyebutkan suatu tatanan
organisasional yang paling penting (organizational linchpin) dalam rangka
penganalisisan sistem-sistem hukum berbagai negara di dunia. Keluarga sistem hukum ini
merupakan eponymous models,12 yakni “...certain laws which can be considered typical
and representative of a family which groups a number of laws.”13 Dengan demikian
istilah keluarga sistem hukum (parent legal system ) ini dapat dipersamakan dengan
sistem-sistem hukum utama (major legal systems) atau bahkan cukup ditulis sebagai
keluarga hukum (legal family atau famille juridique) saja.
Di dunia ini biasanya dikemukakan ada tiga keluarga sistem hukum, yaitu (1) civil
law system, (2) common law system, dan (4) socialist law system . Kelompok yang ketiga,
socialist law system , sering tidak disinggung secara khusus dalam banyak tulisan karena
dianggap berakar pada civil law system . Di luar tiga kelompok itu, ada kategori lain- lain,
yang biasa disebut keluarga sistem hukum bertradisi campuran. Pembagian di atas
sebenarnya bersifat oversimplified, mengingat sistem-sistem hukum yang mengisi bagianbagiannya
juga begitu banyak. Peter de Cruz menyebut angka sekitar 42 sistem hukum
11 René Da vid & John E.C. Brierly, Major Legal Systems in the World Today: An Introduction to the
Comparative Study to Law, ed. 3 (London: Stevenson & Sons, 1985), hlm. 21.
12 Eponymous biasa digunakan untuk menyebutkan ciri pemain utama dalam drama atau buku, yang
namanya dicantumkan sebagai judul karya tersebut. “An eponymous hero or heroine is the character in a
play or book whose name is the title of that play or book....” Lihat John Sinclair et al, eds., BBC English
Dictionary (London: BBC English & Harper-Collins Publishers, 1992), hlm. 382.
13 René David & John E.C. Brierley, Op. Cit., hlm. 1.
8
yang mempunyai karakteristik tersendiri, yang berarti pengelompokan ke dalam tiga
keluarga sistem hukum di atas tentu terlalu sedikit.14
Negara-negara yang termasuk dalam kelompok negara-negara civil law adalah
seperti Prancis, Jerman, Italia, Swiss, Austria, negara-negara Amerika Latin, Turki,
sejumlah negara Arab, Afrika Utara, dan Madagaskar. Indonesia termasuk kategori civil
law juga, mengingat negara ini mendapat pengaruh dari Belanda, dan Belanda
memperolehnya dari Prancis. Negara-negara yang berkategori common law15 antara lain
adalah Inggris (England) dan Wales, Australia, Nigeria, Kenya, Zambia, Amerika
Serikat, Selandia Baru, Kanada, dan berbagai negara dari kawasan Timur Jauh, seperti
Singapura, Malaysia, dan Hongkong. Selanjutnya, untuk sistem sosialis tercakup antara
lain Bulgaria, Yugoslavia, Kuba, dan negara- negara eks Uni Soviet. Di luar itu terdapat
sistem campuran (hybrid or mixed jurisdictions) seperti Seychelles, Afrika Selatan,
Louisiana (di Amerika Serikat), Filipina, Yunani, Quebec (di Kanada), dan Puerto Rico.
Kriteria yang lebih luas diberikan oleh Esmein (1905), dengan membedakannya
menjadi lima keluarga sistem hukum yaitu: (1) Romanistic, (2) Germanic, (3) Anglo
Saxon, (4) Slavic, dan (5) Islam. Zweigert dan Kotz (1977) mengklasifikasikan lebih
banyak lagi, yaitu: (1) Romanistic, (2) Germanic, (3) Nordic, (4) Common Law families,
(5) Socialist, (6) Far Eastern Systems, (7) Islamic Systems, dan (8) Hindu law. David dan
Brierley mengadopsi sistem klasifikasi berdasarkan ideologi dan teknis hukum, sehingga
muncul enam keluarga sistem hukum yang berbeda: (1) Romano-Germanic, (2) Common
Law, (3) Socialistic, (4) Islamic, (5) Hindu dan Jewish, (6) Far East dan Black African.
Pada intinya, metode pembagian keluarga sistem hukum tersebut sangat dipengaruhi
oleh indikator yang digunakan sebagai “pisau analisis.” Makin tajam “pisau analisis”
tersebut, maka makin banyak bagian-bagian yang bisa ditampilkan sebagai keluarga
sistem hukum tersendiri.
14 Peter de Cruz, Comparative Law in A Changing World (London: Cavendish Publishing Ltd., 1995), hlm.
3.
15 Istilah “common law” mempunyai dua pengertian. Secara sempit ia adalah pranata hukum yang dibangun
oleh suku-suku Anglo-Saxon jauh sebelum penaklukan bangsa Normandia (tahun 1066). Dalam hal ini ia
dipertentangkan dengan pranata equity yang lahir pasca-penaklukan. Istilah “common law” juga diartikan
secara luas untuk me namakan keluarga sistem hukum dari negara-negara yang mendapat pengaruh
mendalam dari hukum Inggris, terutama setelah melalui proses kolonialisasi.
9
Apa sejumlah faktor yang dapat dijadikan indikator untuk menggolongkan sistem
hukum negara- negara tertentu menjadi satu keluarga tersendiri. Faktor-faktor itu antara
lain meliputi:16
a. latar belakang sejarah dan pembangunan sistem hukumnya (the historical background
and development of the system);
b. karakteristik khas dari cara berpikirnya (its characteristic [typical] mode of thought);
c. pranata-pranatanya yang berbeda (its distinctive institutions);
d. jenis-jenis sumber hukum yang dikenal dan penggunaannya (the types of legal
sources it acknowledges and its treatment of these);
e. ideologinya (its ideology).
Dalam uraian berikut, faktor kedua tersebut yang akan dijadikan fokus elaborasi. Para
ahli perbandingan hukum pada umumnya mengakui ada perbedaan karakteristik dalam
cara berpikir (penalaran) di antara keluarga-keluarga sistem hukum itu. Peter de Cruz
menulis sebagai berikut:17
As a generalisation, civil law or Germanic and Romanistic legal families tend to think
in abstract, conceptual and symmetrical terms. Civil law, derived from universities
and Roman law, is rule-based and constantly seeks solutions to a problem before the
court. It also thinks in terms of institutions, whereas the English common law is
typical for its concrete, court-based approach, seeking pragmatic answers to issues
before the court. Where civil law proceeds from general principle to general principle,
common law proceeds from case to case. Where cases have formed the primary
source of the common law, statutes and codified law have been the civil law
counterparts. While common lawyers think in terms of the parties and their particular
legal relationship, civil lawyers think in terms of the existing enacted rules, codified
or statutory, which may be applied to a given situation. Another consequence of the
historical development which is reflected in the mode of legal thinking is the civil law
penchant for planning, systematising and regulating everyday matters as
comprehensively as possible. In contrast, the classic common law characteristic is to
improvise, examining cases for possible precedents which may or may not be
‘binding’ on the court currently hearing a case and only deciding to legislate in any
sort of organised and comprehensive fashion if the particular area of law happens to
be confused, obscure or reveals a ‘gap’ in the law. Even when ostensibly
comprehensive statutes are passed, the preceding case law is often relevant as a guide
to interpretation since the enactment of the statute is generally seen as a consolidation
16 Peter de Cruz, Op. Cit., hlm. 34.
17 Ibid., hlm. 36.
10
(and possibly clarification) of existing law. The common law statute therefore seeks
generally to build or improve on existing case law, whereas the civil law equivalent
has traditionally sought to enunciate universally applicable principles, clearly set out
for either the citizen (as in the French Code) or the specialist (as in the German
Code). It frequently sets out to establish new laws, and to do so explicitly.
Karakteristik penalaran hukum yang digambarkan Cruz di atas dapat dikembangkan
dengan melihat bagaimana peran fungsionaris hukum pada masing-masing kubu,
khususnya mereka yang berprofesi sebagai pembentuk undang-undang dan para hakim.
Sejalan dengan ditempatkannya undang-undang sebagai sumber utama hukum dalam
keluarga sistem civil law, maka dengan sendirinya pembentuk undang-undang
mempunyai peranan penting untuk menetapkan corak sistem hukum positif negara
tersebut. Pada forum legislatif inilah semua konsep hukum itu dibicarakan untuk
kemudian digunakan sebagai panduan bagi para hakim dalam memecahkan kasus-kasus
konkret di pengadilan. Dalam konteks ini, para pembentuk undang-undang dituntut
berpikir sekomprehensif mungkin agar semua kasus yang dipersepsikan akan muncul di
kemudian hari dapat tercakup dalam pengaturan undang-undang itu. Makin detail dan
eksplisit suatu peraturan diformulasikan, makin ringan pekerjaan hakim di lapangan.
Dimensi nilai keadilan (Gerechtigkeit) dan kemanfaatan (Zweckmäßigkeit) dipersepsikan
sudah diletakkan jauh-jauh hari tatkala undang-undang itu dirumuskan oleh wakil-wakil
rakyat di lembaga legislatif. Oleh karena itu, tugas hakim seharusnya lebih diarahkan
kepada penetapan aturannya, sehingga tercapailah kepastian hukum (Rechtssicherheit)
bagi semua pihak.
Di sisi lain, dalam keluarga sistem common law, keaktifan justru dituntut datang dari
para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam
menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam pencarian sumber
hukum, perhatian mereka pertama -tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi lebih
kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-undang
yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan
hukum la in di luar undang- undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas
kasus yang dihadapi. Cara berpikir pragmatis ini mengarahkan hakim-hakim dari
keluarga sistem common law untuk meletakkan nilai kemanfaatan (daya guna,
11
Zweckmäßigkeit) pada tempat pertama. Kemanfaatan di sini tentu pertama-tama dilihat
dari optik kepentingan para pihak yang bersengketa, namun konsep “pihak” di sini dapat
saja diperluas, khususnya dalam sengketa hukum publik. 18 Pada kasus-kasus demikian,
hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan itu tadi dengan kepentingan
masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi keadilan (Gerechtigkeit) dalam
putusannya. Untuk melembagakan semangat berkeadilan inilah, antara lain lalu
dihadirkan dewan juri di pengadilan sebagai pranata khas common law.19 Demikian juga
dengan eksistensi pranata equity yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common
law.20 Selanjutnya, agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka
asas preseden yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim
menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama putusanputusan
sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan yang sangat
prinsipiil, hakim tersebut tidak dapat mengelak kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang
secara substantif sama dengan putusan sebelumnya.
Profesi hakim juga menjadi unsur pembeda yang menarik untuk diperbandingkan.
Dalam keluarga sistem civil law, hakim direkrut langsung dari tamatan universitas.
Sebagian besar di antara mereka menekuni profesi ini sebagai karir pertama mereka di
bidang hukum. Hal ini tidak menjadi kecenderungan di dalam keluarga sistem common
law. Dalam keluarga sistem hukum ini, hakim sering dianggap sebagai puncak karir
berbagai profesi hukum. Rekrutmen hakim dilakukan dari profesi hukum lain, yakni
18 Dalam keluarga sistem common law tidak dikenal pemb agian tegas antara hukum publik dan privat.
Penjelasan mengenai hal ini lihat Paul Scholten, Mr. C. Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het
Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemeen Deel (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1934), hlm. 34–41.
19 Sistem juri muncul dari tradisi (kebiasaan) yang kemudian dikukuhkan dalam Magna Charta, bertujuan
untuk mengontrol kekuasaan the King’s judges. Saat ini, dalam sistem hukum Amerika Serikat dikenal
banyak variasi dari pranata juri ini, seperti grand jury, petit jury, common jury, special jury, coroner’s jury,
dan sheriff’s jury. Agar dimensi rasa keadilan masyarakat itu dapat tercermin, komposisi juri ditetapkan
harus dalam jumlah tertentu. Grand jury, misalnya, terdiri dari 12 s.d. 23 orang. Namun, umumnya di
pengadilan distrik negara bagian atau federal jumlah juri ini telah diciutkan menjadi 6 orang. Untuk
efisiensi, para pihak diperbolehkan pula menetapkan sejumlah lainnya, yang kurang dari 12 kurang. Lihat
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, ed. 6 (St. Paul: West Publishing, 1990), hlm. 855-857.
20 Pranata equity lahir sebagai respons atas buruknya kinerja pengadilan common law. Menurut doktrin
yang hidup pada Abad Pertengahan, untuk memenuhi rasa keadilan rakyat dapat secara individual meminta
keputusan dari raja. Dalam sejarah pernah terjadi konflik antara equity dan common law, sampai akhirnya
diharmonisasikan melalui Judicature Acts 1873 dan 1875. Lihat Denis Keenan, Smith and Keenan’s
English Law, ed. 8 (London: Pitman, 1986), hlm. 4–8 dan René David & John E.C. Brierley, Op. Cit., hlm.
339–341.
12
penasihat hukum dan jaksa yang dinilai mempunyai reputasi tinggi.21 Asosiasi profesi
hukum juga berperan penting dalam tradisi common law. Di Amerika Serikat, misalnya,
bar association bertugas menyeleksi calon-calon penasihat hukum, sehingga fenomena
ini menjadikan profesi hukum berkembang secara elitis. Jauh lebih elitis dibandingkan
kondisi di negara-negara dari keluarga sistem civil law.
Pengaruh keluarga sistem hukum juga muncul pada banyak aspek yang lain, seperti
dalam pendidikan hukum. Pembelajaran disiplin hukum di universitas pada dasarnya
berawal dari tradisi kuno civil law, sebagaimana dikembangkan oleh Irnerius di Studium
Civile di Bologna pada Abad ke-11. Tradisi ini sangat kuat berpengaruh di Eropa sampai
ke Amerika pada Abad ke-19. Metode pengajaran yang mengacu kepada doktrin-doktrin,
baru berubah secara dramatis di Amerika Serikat pada tahun 1870, dirintis oleh
Christopher Columbus Langdell di Universitas Harvard. Ia menciptakan metode perkara
(case method), yang mengarahkan mahasiswa untuk lebih banyak mempelajari dan
mengupas laporan (terbitan) perkara yang diputuskan pengadilan banding. Perkaraperkara
itu dihimpun di dalam buku perkara (casebook) yang awalnya disusun sendiri
oleh Langdell. Metode kasus ini dipadukannya dengan teknik tanya jawab, yang umum
lebih dikenal sebagai metode pembelajaran Sokrates. 22 Langdell sangat dipengaruhi oleh
paham formalisme klasik dalam ilmu hukum, yang memandang ilmu hukum sama
dengan ilmu fisika yang bekerja atas dasar temuan hubungan kausal. 23 Cara pandang ini
dikritik keras oleh Roscoe Pound, namun metode kasus yang diintroduksi Langdell tetap
bertahan, bahkan akhirnya menjadi semacam keniscayaan dalam tradisi pembelajaran di
perguruan tinggi hukum di negara-negara keluarga sistem common law. Buku-buku teks
ilmu hukum yang beredar di sana dipenuhi oleh analisis putusan-putusan hakim.
Sementara itu, perguruan tinggi hukum di negara-negara keluarga civil law tetap bertahan
dengan pola belajar ilmu hukum yang legal-dogmatis. Buku-buku teks ilmu hukumnya
lebih condong ke arah anlisis doktrinal atas norma hukum positif (peraturan perundangundangan).
Buku-buku tersebut ditulis dengan pendekatan sistemik-problematik,
21 Di Indonesia, kecenderungan sistem rekrutmen hakim mulai berubah, yakni dengan dimungkinkannya
akademisi sebagai hakim di Mahkamah Agung dan sejumlah pengadilan ad hoc.
22 Lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction (New York: W.W. Norton & Co., 1984),
hlm. 242–243.
23 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam &
Huma, 2002), hlm. 69.
13
berlawanan dengan pendekatan problematik -sistemik yang melekat kuat pada buku-buku
di lingkungan keluarga sistem common law. Pola penalaran dalam buku-buku teks ini
merefleksikan pola umum penalaran para pengguna buku-buku itu dari kedua belahan
keluarga sistem hukum tersebut.
Sekalipun demikian, pengaruh universitas dalam rangka penciptaan doktrin-doktrin
baru lebih kuat terjadi di dalam keluarga sistem civil law daripada common law. Sudah
merupakan tradisi di negara-negara Eropa Kontinental untuk menyerahkan penggarapan
suatu rancangan undang-undang kepada seorang guru besar terkemuka yang bekerja di
bawah wibawa sebuah perguruan tinggi. Hubungan kerja antara guru besar dan
universitas yang menobatkannya sebagai guru besar juga lebih permanen daripada
hubungan serupa di negara-negara berkeluarga sistem common law.
Tentu saja, dalam praktiknya, pembagian “hitam-putih” secara ekstrem seperti
dikemukakan di atas makin sulit ditemukan di negara-negara penganut sistem civil law
maupun common law. Interaksi baik di tingkat negara, kelompok, maupun personal yang
demikian intens sejak teknologi telekomunikasi dan transportasi ditemukan, merupakan
faktor utama yang mendorong peleburan segi-segi tertentu dari keluarga-keluarga sistem
hukum di dunia dewasa ini, sehingga misalnya dikenal adanya European law yang
berlaku baik di Inggris maupun di Eropa Kontinental. 24 Sebagai ilustrasi singkat, Peter de
Cruz memberikan contoh perkembangan yang telah terjadi di Inggris, Prancis, dan
Jerman:25
Of course, recent trends have indicated that the common law and civil law systems
have been coming closer together in their use of cases and statutes. The United
Kingdom Children Act 1989, which came into force in October, 1991, while
incidentally consolidating and integrating certain existing case-derived rules and
statutes, was enacted predominantly to effect ‘the most comprehensive and farreaching
reform of English child care law ever introduced’ into the United Kingdom
in the 20th century .... On the other hand, civil law system, particularly France and
24 Istilah “European law” biasanya dipakai untuk mengacu kepada pranata-pranata hukum bentukan the
Council of Europe. Mengenai hal ini, lihat David A.O. Edward & Robert C. Lane, European Community
Law: An Introduction (Edinburgh: Butterworths/Law Society of Scotland, 1991), hlm. 1.
25 Peter de Cruz, Op. Cit., hlm. 36 -37. Anehnya, Roscoe Pound justru melihat ada kecenderungan resepsi
civil law terhadap common law jauh lebih besar daripada jurusan sebaliknya, setidaknya sepanjang yang
diamatinya di Skotlandia, Louisiana, Quebec, dan Afrika Selatan. Lihat Roscoe Pound, “Do We Need A
Philosophy of Law?” dalam The Association of the Bar of the City of New York, ed., Jurisprudence in
Action: A Pleader’s Anthology (New York: Baker, Voorhis & Co., 1953), hlm. 393–409.
14
Germany, have begun to rely more and more on cases where, for example, the
enacted or codified law has been found deficient in any way.
Sistem hukum (positif) Indonesia pun tidak lepas dari pengaruh pencairan kedua kubu
ini. Gagasan pengkodifikasian hukum-hukum dasar (seperti perdata, pidana, dagang,
hukum acara perdata, hukum acara pidana), yang dapat dikatakan khas datang dari cara
berpikir keluarga sistem civil law, tampaknya tidak lagi menonjol disuarakan akhir-akhir
ini.26 Paling tidak, ada keinginan kuat saat ini untuk tidak lagi meletakkan gagasan
kodifikasi itu sebagai sesuatu yang primer dibandingkan dengan gagasan modifikasi
(pembentukan hukum melalui penyempurnaan beberapa ketentuan yang sudah ada dalam
kitab undang- undang atau dengan memasukkan secara parsial materi hukum- hukum dasar
itu ke dalam sejumlah undang- undang baru yang masing-masing berdiri sendiri).27 Di sisi
lain, pranata hukum yang semula lahir dan berkembang di keluarga sistem common law,
juga mulai diadopsi di dalam sistem hukum Indonesia, seperti pranata wali amanat yang
berasal dari pranata trust.
Dalam ragaan di bawah, secara umum perbedaan klasikal dan ekstrem antara keluarga
sistem civil law dan common law itu dapat ditampilkan sebagai berikut:
Tabel
Perbedaan Civil Law-Common Law
Perihal civil law common law
Cara berpikir Abstrak, konseptual, simetris. Konkret, kasuistis, pragmatis.
Pembagian
bidang hukum
Secara klasikal mengenal
pembedaan hukum publik dan
hukum privat
Secara klasikal tidak mengenal
pembagian hukum publik dan
hukum privat.
Pembagian
sistem aturan
Secara klasikal tidak mengenal
dua sistem aturan yang
berkedudukan sejajar (sangat
Mengenal pembagian common law
dan equity yang berkedudukan
sejajar.
26 Dalam Pasal 102 UUDS 1950, misalnya, masih ditegaskan secara eksplisit perlunya diadakan kodifikasi.
Pasal tersebut berbunyi: “Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana
militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dengan
undang-undang dalam kitab-kitab hukum kecuali jika pengundang-undang menganggap perlu untuk
mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.”
27 Tentang mana yang lebih primer antara kodifikasi dan modifikasi hukum, dapat dibaca dalam tulisantulisan
yang memuat polemik antara Teuku Mohammad Radhie dan A. Hamid S. Attamimi dalam harian
Kompas (1988). Ulasan terhadap polemik ini antara lain dapat dibaca dalam Shidarta, “Refleksi atas
Pandangan Teuku Mohammad Radhie tentang Pembangunan Kerangka Landasan Hukum Nasional,” dalam
E. Suherman et al., Kumpulan Tulisan untuk Mengenang Teuku Mohammad Radhie (Jakarta: UPT
Penerbitan Universitas Tarumanagara, 1993), hlm. 65–73.
15
mengutamakan unifikasi).
Pendekatan
dalam
penyelesaian
masalah
Berangkat dari aturan (rulebased).
Berangkat dari problem konkret
yang disajikan di pengadilan (court -
based), kebutuhan para pihak.
Pola penalaran Sistemik®problematik. problematik®sistemik.
Sumber hukum
positif
(substantif)
Terutama berupa perundangundangan
(statutory, enacted
law).
Terutama putusan hakim (judgemade
law).
Karakteristik
perundangundangan
Disusun selengkap mungkin
(everyday matters). Kodifikasi
untuk bidang hukum yang
mendasar (a.l. perdata, dagang,
pidana, acara perdata, acara
pidana) menjadi tuntutan
kebutuhan.
Disusun untuk merespons
kebutuhan case law. Oleh karena
itu, materi undang-undang biasanya
difokuskan untuk pembentukan
hukum acara (procedural law). Juga
digunakan untuk
konsolidasi/klarifikasi atas aturan
yang tengah berlaku.
Karakter
putusan hakim
Tidak berlaku asas preseden
yang mengikat (sekadar
persuasive precedent).
Berlaku asas preseden yang
mengikat (binding force of
precedent).
Peranan
pengemban
hukum dalam
pembentukan
hukum.
Pengemban hukum yang banyak
berperan da lam pembentukan
hukum adalah pembentuk
undang-undang itu sendiri
(otoritas legislatif).
Pengemban hukum yang berperan
dalam pembentukan hukum adalah
hakim, melalui putusan konkret
yang kemudian diikuti berdasarkan
asas preseden.
Profesi
kehakiman
Hakim dididik dan diangkat dari
lulusan universitas, yang
sebagian besar menjadikan
profesi ini sebagai awal karir
mereka.
Hakim diangkat dari profesi hukum
lain (terutama pengacara) yang
menjadikan profesi hakim ini justru
sebagai puncak karir mereka.
Peran
universitas
Universitas sangat besar
peranannya dalam penciptaan
doktrin-doktrin hukum.
Universitas kurang berperan dalam
penciptaan doktrin-doktrin hukum.
Faktor-faktor yang menjadi pembeda dari kedua keluarga sistem hukum di atas
memberi pengaruh yang cukup signifikan pada pola-pola penalaran hukum yang
digunakan. Pola penalaran ini terkait dengan perbedaan dalam pemaknaan konsep hukum
dari masing- masing keluarga sistem hukum itu.
Para ahli hukum dari keluarga sistem civil law, pada dasarnya berada dalam arus
besar (mainstream) pemikiran bahwa “law as it is written in the books.” Pola penalaran
ini makin mendapat penguatan pada Abad ke-19, yakni setelah Hans Kelsen
16
mengintroduksi Ajaran Hukum Murni (reine Rechtslehre)-nya. Menurut Soetandyo
Wignjosoebroto, para ahli hukum [Eropa] Kontinental memang memandang hukum
sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan hukum nasional.
Akibatnya, metode penalaran (termasuk metode penelitian) yang dikembangkan para ahli
hukumnya adalah doktrinal, bersaranakan terutama pada logika deduksi untuk
membangun sistem hukum positif.28 Pola penalaran ini tampak masih sejalan dengan akar
historis yang dibangun sejak ilmu hukum Romawi (Roman legal science) muncul pada
Abad ke-1 s.d. 4.
Sebaliknya, para ahli hukum dari sistem keluarga common law dalam
perkembangannya mulai meninggalkan arus besar yang berakar pada ilmu hukum
Romawi tersebut. Cara kerja para hakim sebagai pengemban hukum yang paling berperan
dalam pembentukan hukum dalam keluarga sistem hukum ini, me nuntut penyandang
profesi ini lebih melihat kepada situasi-situasi konkret di masyarakat daripada pertama -
tama harus mengacu kepada undang-undang. Jargon yang disampaikan oleh Hakim
Oliver Wendell Holmes, “The life of the law has not been logic, it has been experience”29
dan ucapan senada dari John Chipman Gray, “All the law is judge-made law” adalah
penggambaran yang tepat dari pendekatan pragmatisme tadi. Pendekatan pragmatisme itu
antara lain mengerucut menjadi model penalaran Realisme Hukum.
Gagasan tentang model suatu penalaran, tentu dapat melintasi batas-batas area
keluarga sistem hukum, namun akhirnya dapat ditunjukkan bahwa model penalaran
itupun harus beradaptasi dengan karakteristik keluarga sistem hukum itu. Contoh yang
baik dalam kasus ini adalah Realisme Hukum Amerika yang berangkat dari keluarga
28 Soetandyo Wignjosoebroto, “Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya,” makalah yang
disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, 4–5
Februari 1994, hlm. 1–3.
29 Ucapan Oliver Wendell Holmes di atas seperti mengekspresikan bahwa logika tidak dapat diaplikasikan
pada hukum. Padahal, ada ucapan Holmes yang menunjukkan pendapatnya yang berlawanan yaitu dalam
esainya “The Path of the Law” (Collected Legal Papers, 1920, hlm. 180). Menurutnya, “Kerancuan
(fallacy) yang terhadapnya saya menunjuk adalah gagasan bahwa satu-satunya kekuatan yang bekerja
dalam perkembangan hukum adalah logika.” Itu berarti bahwa logika adalah bukan satu-satunya asas yang
menentukan keabsahan dari hukum. Untuk selebihnya, tidak ada oposisi antara pengalaman (empiri) dan
logika. Lihat Hans Kelsen, Hukum dan Logika, terjemahan B. Arief Sidharta, cet. 2 (Bandung: Alumni,
2002), hlm. 28.
17
sistem common law dan Realisme Hukum Skandinavia 30 yang bercorak keluarga sistem
civil law.
Bahkan, di bawah satu atap keluarga sistem hukum pun, perbedaan di antara sistemsistem
hukum nasional tidak dapat dihindarkan. Penelitian yang dilakukan oleh P.S.
Atiyah dan R.S. Summers tentang penalaran hukum antara sistem hukum Amerika
Serikat dan Inggris menunjukkan fenomena di atas. Setidaknya, menurut pandangan
mereka, “... the English legal system is highly ‘formal’ and the American highly
‘substantive’.”31 Apa yang dimaksud mereka dengan “substantive reasoning” adalah “...
a moral, economic, political, institutional, or other social consideration,” sementara
“formal reasoning” adalah “... a different kind of reason from a substantive reason that
has not yet been incorporated in the law at hand. A formal reason is a legally
authoritative reason on which judges and others are empowered or required to base a
decision or action....”32
2. Penstudi Hukum
Istilah “penstudi hukum” dalam tulisan ini mengacu kepada banyak pemegang peran.
Perbedaan penstudi hukum yang penting adalah antara “partisipan” dan “pengamat.”
Kedua istilah ini digunakan untuk menunjukkan masing-masing kepada sebutan
medespeler dan toeschouwer. Partisipan (medespeler ) adalah penstudi hukum sekaligus
pengemban hukum (rechtsbeofenaar),33 sedangkan pengamat (toeschouwer) adalah
penstudi hukum, tetapi bukan pengemban hukum.
Pengembanan hukum adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan
berlakunya hukum di masyarakat.34 Pengembanan hukum dapat dibedakan menjadi
pengembanan hukum teoretis dan pengembanan hukum praktis. Pengembanan hukum
30 Skandinavia meliputi kawasan negara-negara Eropa Utara (Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia,
Eslandia, dan Kepulauan Faroe).
31 P.S. Atiyah & R.S. Summers, Form and Susbtance in Anglo-American Law: A Comparative Study of
Legal Reasoning, Legal Theory, and Legal Institutions (Oxford: Clarendon Press, 1991), hlm. 1.
32 Ibid., hlm. 1–2.
33 Istilah “pengemban hukum” ini diderivasi dari terminologi “pengembanan hukum” yang diperkenalkan
oleh B. Arief Sidharta. Pengertian istilah ini lebih luas daripada sekadar praktisi hukum, karena di
dalamnya termasuk para teoretisi atau akademisi hukum juga. Menurut saya, istilah “pengemban hukum”
dalam konteks ini dapat diidentikkan dengan “fungsionaris hukum” yang mengandung arti penyandang
profesi tertentu yang membuat hukum itu berfungsi, baik dalam tataran teoretis maupun praktis. Uraian
lebih lanjut, lihat D.H.M. Meuwissen, “Pengembanan Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Majalah Pro
Justitia, Tahun XII No. 1, Januari 1994, hlm. 61–81.
34 Ibid., hlm. 61.
18
teoretis adalah kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual tentang
hukum atau pemahaman hukum secara ilmiah, yakni secara metodis sistematis- logisrasional.
Termasuk kegiatan pengembanan hukum teoretis ini adalah kegiatan
mempelajari, meneliti, dan mengajarkan hukum. Berdasarkan tataran analisisnya,
pengembanan hukum dibedakan menjadi tiga tingkat abstraksi, mulai dari yang terendah
sampai tertinggi, yaitu: (1) ilmu hukum; (2) teori hukum; dan (3) filsafat hukum.
Tingkat abstraksi yang paling rendah (berarti paling konkret) adalah ilmu hukum.
Istilah “ilmu hukum” ini sering ditulis dalam bentuk jamak menjadi “ilmu- ilmu hukum”
dengan pertimbangan bahwa yang dimaksud di sini tidak sekadar ilmu hukum dogmatis
(dogmatika hukum), melainkan juga ilmu-ilmu empiris hukum (yang biasa diistilahkan
dengan “ilmu- ilmu hukum empiris”). Meuwissen termasuk dalam ahli hukum yang
berpendapat demikian. Hubungan di antara ketiga tataran itu dijelaskannya dalam ragaan
berikut:35
35 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996), hlm. 162.
19
Dogmatika
HHuukkuumm
SSeejjarah
HHuukkuum
PPeerrbbaann--
dingaann
Hukkuumm
Sosiioollooggii
HHuukkuum
Psikologi
HHuukkuumm
Teori Hukum
(dalam arti sempit)
Filsafat Hukum
Ilmu [-ilmu] Hukum
Teori HHuukum ddaallam aarrttii luas
Dimodifikasi dari:
ã Burggink, 1996
Ragaan 1: Klasifikasi Disiplin Hukum Menurut Meuwissen
Dalam tulisan ini, ilmu-ilmu empiris hukum ini tidak dimas ukkan sebagai bagian dari
disiplin hukum. Ada sejumlah alasan untuk mendukung keputusan tersebut.
Pertama, dilihat dari perkembangan ilmu hukum, khususnya setelah periode Irnerius
(dengan karakter universalnya) dan Revolusi Perancis (dengan karakter nasionalnya), apa
yang dimaksud dengan ilmu hukum itu pada hakikatnya memang adalah dogmatika
hukum itu saja. Ilmu-ilmu empiris hukum tersebut adalah suatu pendekatan baru dalam
studi hukum yang muncul kemudian bersamaan dengan kelahiran disiplin baru seperti
sosiologi, antropologi, dan psikologi.
Kedua, pengklasifikasian ilmu- ilmu seperti sosiologi hukum, dan psikologi hukum itu
ke dalam disiplin hukum menyebabkan ilmu- ilmu ini berada di dua disiplin sekaligus.
Sosiologi hukum, misalnya, dapat dianggap cabang dari disiplin sosiologi sekaligus
20
hukum. Padahal, sekalipun objek material dari ilmu- ilmu ini memang adalah hukum,
objek formal mereka tetap saja mengacu kepada (“mengibarkan bendera”) disiplin
keilmuan mereka masing- masing. Dalam pengklasifikasian disiplin keilmuan, objek
formal inilah yang menjadi faktor penentu. Tentu saja, penjelasan ini agak berbeda untuk
filsafat hukum, yang memang lahir jauh mendahului dogmatika hukum dan ilmu-ilmu
vak lainnya. Filsafat hukum memang termasuk kategori disiplin filsafat, namun karena
objek formalnya bersifat holistik, integral, dan radikal, maka ia masuk ke dalam disiplin
hukum juga. Hal ini juga berlaku untuk disiplin manapun tatkala mereka menyinggung
tataran paling abstrak dari disiplin ilmu tersebut.
Ketiga, jika ilmu hukum diartikan sebagai bagian dari ilmu praktis, maka dengan
memasukkan ilmu- ilmu baru seperti sosiologi hukum dan psikologi hukum itu ke dalam
kelompok yang sama dengan dogmatika hukum, akan langsung menghilangkan ciri ilmu
hukum sebagai ilmu praktis tersebut.
Keempat, jumlah ilmu- ilmu empiris yang berobjek (material) hukum ini akan
bertambah banyak seiring dengan pertumbuhan disiplin-disiplin baru yang berminat
melakukan studi terhadap hukum. Oleh sebab itu, pembatasan yang dilakukan oleh
Meuwissen kepada hanya empat macam (sosiologi hukum, perbandingan hukum,
sosiologi hukum, dan psikologi hukum) seperti ragaan di atas, patut dipertanyakan. Dari
sekian banyak “ilmu- ilmu” itu ternyata ada yang masih diragukan posisinya: apakah
layak disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri atau sekadar sebagai metode
(pendekatan). Salah satu contoh dari ketidakjelasan ini adalah “ilmu” perbandingan
hukum.
Kelima, dalam kegiatan pengembanan hukum, terlibatnya ilmu- ilmu empiris hukum
sesungguhnya terjadi pada tataran teori hukum dalam arti luas, terutama dalam rangka
penalaran hukum. Teori hukum adalah cabang disiplin hukum yang interdisipliner, yang
berarti juga bekerja dengan merangkul disiplin keilmuan lainnya (pendekatan
multidisipliner). Ulasan tentang hubungan fungsional antardisiplin tersebut dapat
dijelaskan dengan berbagai teori, salah satunya teori dari Parsons (dimodifikasi oleh
Satjipto Rahardjo), yang mengaitkan secara sibernetis empat unsur (subsistem) dalam
pola kehidupan masyarakat manusia, yakni budaya, sosial (termasuk hukum), politik, dan
ekonomi. Hubungan sibernetis itu dijalin oleh dua arus, yakni arus nilai atau informasi
21
yang bermula dari subsistem budaya (arah atas ke bawah) dan arus energi dimulai dari
subsistem ekonomi (arah bawah ke atas).36
Berdasarkan pemikiran di atas maka secara tegas dapat disajikan pembedaan yang
tegas bahwa disiplin hukum hanya diartikan sebagai ilmu hukum positif (dogmatika
hukum), teori hukum, dan filsafat hukum). Ini berarti, ada studi hukum yang dilakukan
oleh kalangan internal dan eksternal disiplin hukum. Kalangan internal ini disebut
partisipan (medespeler), sementara kalangan eksternal adalah pengamat (toeschouwer).
Sebagai disiplin hukum dengan abstraksi terendah, ilmu hukum (dogmatika hukum)
melakukan tugas melakukan inventarisasi, kompilasi, interpretasi, konstruksi,
sistematisasi, dan/atau evaluasi atas teks otoritatif (sumber hukum, seperti undangundang,
traktat, yurisprudensi). Kegiatan dalam ilmu hukum itu dimaksudkan antara lain
untuk:
a. mempersiapkan putusan-putusan hukum (dalam rangka menawarkan penyelesaian
yuridis atas permasalahan sosial);
b. menetapkan apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu;
c. menetapkan siapa berhak atas apa, terhadap siapa, berkenaan dengan apa, dalam
situasi apa, dan seterusnya.
Ilmu hukum dengan demikian memedomani, mengarahkan, dan mengontrol secara
rasional pengembanan hukum praktis. Peristiwa-peristiwa konkret yang ditemukan di
lapangan secara langsung berada dalam pemantauan ilmu hukum. Dengan demikian,
tujuan eksistensi ilmu hukum adalah senantiasa praktikal. Dalam menetapkan proposisi
atas variabel-variabel yang ditemukannya di lapangan, ilmu hukum tidak bekerja sendiri.
Ia wajib berkonsultasi dengan disiplin lain agar keputusan (konklusi) yang
diformulasikan kemudian dapat benar-benar memenuhi “konsumen hukum” tersebut.37
36 Penjelasan lebih lanjut lihat Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin
dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm. 21–23. Nurcholish Madjid juga
menyebutkan hubungan lima unsur kekuatan dalam pemerintahan negara, yakni sama seperti Talcott
Parsons dan Satjipto Rahardjo, tetapi ditambah dengan unsur “teknologi” setelah ekonomi. Arus dari atas
disebutnya controlling, sementara arus dari bawah dinamakan conditioning . Lihat Dharnoto & Muhamad
Sulhi, “Nurcholish Madjid dan Simbol Harapan,” Majalah Intisari, Oktober 2003, hlm. 55–56.
37 Masyarakat dengan predikat sebagai “konsumen hukum” antara lain dinyatakan oleh Edmon Cahn, “Law
in the Consumer Perspective,” University of Pennsylvania Law Review, Vol. 112, 1963, hlm. 1–27.
22
Penetapan proposisi hukum seperti diutarakan di atas, dilakukan berdasarkan norma
hukum positif yang dipahami melalui proses penemuan hukum (rechtsvinding). Pada
umumnya, berkembang pandangan bahwa upaya melakukan penemuan hukum dilakukan
secara hermeneutikal dari titik berdiri subjek penstudi sebagai partisipan (medespeler).
Pandangan demikian dapat dimengerti, mengingat penemuan hukum ini memang
merupakan pekerjaan utama para pengemban hukum partisipatoris, khususnya hakim.
Ucapan Peter Noll dan W.G. van der Velden bahwa ilmu hukum telah berkecenderungan
menyempit menjadi ilmu tentang peradilan semata, adalah ilustrasi yang tepat untuk
memperlihatkan pandangan umum di atas38.
Tingkat abstraksi yang lebih tinggi daripada ilmu hukum adalah teori hukum. Istilah
teori hukum seringkali digunakan secara interchangeable dengan teori ilmu hukum. Jika
mengikuti uraian B. Arief Sidharta, ruang lingkup teori ilmu hukum sebenarnya lebih
luas daripada teori hukum. Teori ilmu hukum adalah disiplin hukum yang secara kritikal
(dalam perspektif interdisipliner) menganalisis berbagai aspek dari hukum secara
tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teroretisnya maupun dalam
pengolahan praktisnya. Tujuan analisis ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum terberi (sumber
hukum otoritatif). Secara sistematis teori ilmu hukum dapat dibagi dalam tiga cabang
(bidang) yakni: (1) ajaran hukum atau teori hukum; (2) hubungan hukum dengan logika;
dan (3) metodologi.39
Ajaran hukum atau teori hukum merupakan kelanjutan dari Allgemeine Rechtslehre
mencakup analisis konseptual atas hukum (pengertian, asas, kaidah, sistem hukum, dan
sebagainya). Kemunculan teori hukum sejalan dengan pertumbuhan disiplin hukum pada
paruh kedua Abad ke-19 setelah mendapat pengaruh pemikiran John Austin (1790–1859).
Sejak saat itu, disiplin hukum telah diperkaya dengan kajian-kajian teoretis yang biasa
disebut analytical jurisprudence. Ia memperkenalkan analisis konsep-konsep kunci
hukum seperti hak, kewajiban, keabsahan, subjek hukum, status, tindak pidana, dan
sumber hukum, dengan meninggalkan pendekatan yang biasa dilakukan seperti sosiologi
dan sejarah. Ajaran inilah yang kemudian pada tahun 1970 mengemuka kembali sebagai
38 Tentang ucapan Peter Noll dan W.G. van der Velden, lihat infra catatan kaki No. 64.
39 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 123.
23
suatu bidang disiplin hukum baru, yang disebut teori hukum sebagai terjemahan dari
istilah “jurisprudence” atau “Rechtstheorie.” Dalam hubungan hukum dan logika dibahas
tentang argumentasi yuridis, penerapan logika deontik (logika yang bertalian dengan
keniscayaan atau kewajiban), serta hubungan antara hukum dan bahasa. Kajian tentang
karakteristik penalaran hukum dalam kontekstualitas hukum positif negara tertentu,
sebagaimana dilakukan dalam karya penelitian ini, adalah bentuk kajian teori ilmu hukum
jenis ini. Selanjutnya, metodologi hukum membahas tentang ajaran ilmu dan ajaran
metode praktik hukum. Ajaran ilmu membahas sifat keilmuan dan landasan kefilsafatan
ilmu hukum, metode penelitian dan pembentukan hukum dan metode penemuan hukum
yang mencakup penafsiran dan konstruksi hukum. Dalam perkembangannya, semua
bidang teori ilmu hukum ini kemudian menyatu sebagai bagian dari aktivitas teori
hukum, sehingga istilah “teori ilmu hukum” inipun diidentikkan dengan “teori hukum.”
Teori hukum sekadar memberikan deskripsi (informasi) yang positif teoretikal, sama
sekali tidak melakukan penilaian normatif (baik -buruk). Teori hukum dengan demikian
berfungsi untuk mengolah produk dari ilmu- ilmu lain yang juga berobjekkan huk um, lalu
mengubahnya menjadi teknik hukum untuk kepentingan ilmu hukum. Oleh karena itu,
seorang teoretisi hukum sebagai partisipan (medespeler) dalam pengembanan hukum
wajib memahami perspektif para pengamat (toeschouwer ) atas adanya dan berlakunya
hukum. Di samping itu, teori hukum melakukan pembentukan, pengolahan,
pengembangan, dan pemantapan (pembakuan) konsep-konsep yuridis. Sebagai disiplin
hukum yang berada di antara tingkat abstraksi ilmu hukum dan filsafat hukum, maka
teori hukum juga difungsikan untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan kepada filsafat hukum. Sebaliknya, jawaban-jawaban yang diberikan filsafat
hukum merupakan porsi teori hukum untuk kembali mengolahnya secara deskriptif.
Tingkat abstraksi yang paling tinggi adalah filsafat hukum. B. Arief Sidharta
menyebutkan dua pokok permasalahan yang menjadi fokus filsafat hukum, yaitu tentang
landasan mengikat dari hukum dan kriteria keadilan menurut hukum (kaidah hukum
positif dan sistem hukum secara keseluruhan). Dalam kegiatan merefleksi dwitunggal
pertanyaan inti tersebut, ranah telaah filsafat hukum mencakup aneka persoalan.
Beberapa di antara persoalan yang relevan dengan topik bahasan ini adalah tentang
24
aturan-aturan yuridis dan argumentasi yuridis, bangunan logikal serta struktur sistem
hukum.40
Pengembanan hukum teoretis, dengan demikian terdiri dari dua kelompok disiplin.
Pertama, disebut disiplin hukum (pendekatan internal), mencakup: (1) ilmu hukum
(pendekatan normatif-praktis); (2) teori hukum (pendekatan ilmiah-positif teoretis); dan
(3) filsafat hukum (pendekatan abstrak spekulatif-evaluatif). Di sisi lain terdapat
kelompok ilmu- ilmu lain di luar hukum (pendekatan eksternal), namun objek telaahnya
adalah hukum. Mereka memaparkan keadaan hukum senyatanya. Kelompok illmu-ilmu
lain ini mencakup antara lain sejarah hukum, perbandingan hukum, sosiologi hukum,
antropologi/etnologi hukum, psikologi hukum, logika hukum, dan politik hukum.
Tempat berpijak para pengemban hukum yang dijadikan sebagai indikator pembeda
antara partisipan dan pengamat tersebut adalah sistem hukum. Konsep sistem hukum
inipun memiliki komponen yang tidak seragam. Pada umumnya, terminologi sistem
hukum diartikan secara luas mencakup tiga unsur sekaligus meliputi struktur, substansi,
dan budaya hukum.
Menurut Lawrence M. Friedman, struktur sistem hukum itu menunjukkan:41
... its skeleton or framework, the durable part, which gives a kind of shape and
definition to the whole.... The structure of a legal system consists of elements of this
kind: the number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they
hear, and how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure
also means how the legislature is organized, how many members... , what a president
can (legally) do or not do, what procedures the police department follows, and so on.
Structure, in a way, is a kind of cross section of the legal system? a kind of still
photograph, which freezes the action.
Unsur kedua dari sistem hukum adalah substansi, yaitu “... the actual rules, norms,
and behavior patterns of people inside the system.”42 Definisi ini menunjukkan
pemaknaan substansi hukum yang lebih luas daripada sekadar stelsel norma formal
(formele normenstelsel). Friedman memasukkan pula pola-pola perilaku sosial dan
40 B. Arief Sidharta, “Disiplin Hukum: tentang Hubungan antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Hukum,” Jurnal Pro Justitia , Tahun XX No. 3, Juli 2002, hlm. 12
41 Lawrence M. Friedman, Op. Cit., hlm. 5–6.
42 Ibid., hlm. 6
25
norma-norma sosial selain hukum, sehingga termasuk juga etika sosial seperti asas-asas
kebenaran dan keadilan.
Unsur ketiga adalah budaya hukum, yang diartikan oleh Friedman sebagai: 43
... people’s attitudes toward law and legal system? their beliefs, values, ideas, and
expectations. . . The legal culture, in other words, is the climate of social thought and
social force which determines how law is used, avoided, or abused. Without legal
culture, the legal system is inert? a dead fish lying in a basket, not a living fish
swimming in its sea.
Budaya hukum juga dapat diberikan batasan yang sama dengan kesadaran hukum.44
Konsep “kesadaran hukum” ini dibedakan oleh J.J. von Schmid dengan konsep “perasaan
hukum.” Menurutnya:45
Van rechtsgevoel dient men te spreken bij spontaan, on middelijk als waarheid
vastgestelde rechtswaardering, terwijl bij het rechtsbewustzijn men met waarderingen
te maken heef, die eerst middelijk, door nadenken, redeneren en argumentatie
aanemelijk gemaakt worden.
Dengan demikian perasaan hukum merupakan produk penilaian masyarakat secara
spontan yang tentu saja bersifat subjektif, sedangkan kesadaran hukum lebih merupakan
hasil pemikiran, penalaran, dan argumentasi yang dibuat oleh para ahli, khususnya ahli
hukum. Kesadaran hukum adalah abstraksi (para ahli) mengenai perasaan hukum dari
para subjek hukum. Dalam konteks pembicaraan tentang sistem hukum ini, tentu saja
yang dimaksud dengan budaya hukum ini adalah kesadaran hukum dari subjek-subjek
hukum suatu komunitas secara keseluruhan.
Tiga unsur sistem hukum yang dikemukakan Friedman di atas, memiliki kemiripan
dengan pandangan Kees Schuit. Menurutnya, sebuah sistem huukm terdiri dari tiga unsur
yang memiliki kemandirian tertentu (identitas dengan batas-batas yang relatif jelas) yang
43 Ibid.
44 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 154.
45 J.J. von Schmid, Het Denken over Staat en Recht in de Tegenwoordige Tijd (Haarlem: De Erven F. Bohn,
1965), hlm. 63 dikutip oleh C.F.G. Sunaryati Hartono, Peranan Kesadaran Hukum Masyarakat dalam
Pembaharuan Umum (Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 3.
26
saling berkaitan, dan masing- masing dapat dijabarkan lebih lanjut. Unsur-unsur yang
mewujudkan sistem hukum itu adalah:46
a. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri
atas atuan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para
yuris disebut “sistem hukum”. Bagi para sosiolog hukum, masih ada unsur
lainnya.
b. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi
dan lembaga- lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang
termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager),
yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
c. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatanperbuatan
konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari
para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di
dalamnya terdapat sistem hukum itu.
Sistem hukum merupakan indikator pembeda dalam menetapkan posisi penstudi
hukum. Dalam Ragaan 2 di bawah posisi penstudi tersebut dapat diperjelas. Dua
penstudi yang duduk pada sebelah kanan mengambil posisi sebagai partisipan
(medespeler). Mereka adalah para pengemban hukum. Mereka bekerja di dalam sistem
hukum dengan menggunakan optik internal disiplin hukum. Di sini terlihat ada
identifikasi antara sistem hukum dan disiplin hukum.47 Sekalipun demikian, tetap ada
perbedaan antara pengemban hukum di sebelah kanan dan kiri. Posisi pengemban hukum
paling kanan adalah pengemban hukum teoretis, sementara pengemban hukum sebelah
kiri adalah pengemban hukum praktis. Perbedaan di antara keduanya terletak pada dasar
pegangan mereka dalam mengemban hukum. Pengemban hukum praktis selalu
menjadikan sistem hukum positif sebagai pegangan.
Mereka yang menjadi pengemban hukum praktis ini adalah mereka yang duduk
dalam organisasi perundang-undangan, peradilan, bantuan hukum, dan pemerintahan
publik. Sementara pengemban hukum teoretis adalah kaum ilmuwan hukum, teoretisi
hukum, dan filsuf hukum. Mereka memang menjadikan sistem hukum sebagai dasar
pijakan, tetapi analisis dan kesimpulan mereka tidak harus sejalan dengan sistem hukum
46 J.J.H. Bruggink, Op. Cit., hlm. 140.
47 Dalam kesempatan itu, Bruggink mengatakan bahwa ketika orang menyebut “sistem hukum” maka orang
tersebut berbicara dalam kerangka acuan ilmu hukum, yang mendekati hukum dari aspek sistematisnya.
Lihat Ibid., hlm. 139.
27
positif. Makin tinggi tingkat abstraksi cabang-cabang disiplin hukum itu, makin longgar
keterikatannya mereka dengan hukum positif. Ilmu hukum seba gai cabang disiplin
hukum paling konkret cenderung dekat dengan sistem hukum positif, dan kecenderungan
ini makin berkurang pada teori hukum, dan filsafat hukum.
Posisi paling kiri adalah posisi pengamat (toeschouwer) yang digambarkan sedang
duduk dan bekerja di atas sistem lain (di luar sistem hukum). Penstudi yang termasuk
kelompok pengamat ini antara lain mereka yang berasal dari disiplin sejarah, sosiologi,
antropologi, psikologi, dan sebagainya. Mereka menjadikan hukum sebagai bagian dari
objek kajian namun dengan pendekatan eksternal.
Sementara itu, posisi di tengah adalah posisi yang unik karena diwakili oleh penstudi
hukum yang menjadi partisipan sekaligus pengamat. Posisi partisipan sekaligus pengamat
ini diilustrasikan kakinya berpijak pada sistem nonhukum namun tangan dan sebagian
badannya tetap bertumpu pada sistem hukum. Ia menggunakan pendekatan internal
sekaligus eksternal dalam mengemban hukum. Jika meminjam perspektif Meuwissen,
posisi partisipan-pengamat ini dapat disamakan dengan kelompok Positivisme Hukum
tradisi ketiga. Jika tradisi pertama diwakili oleh John Austin dengan teori hukum
analitisnya, dan tradisi kedua oleh Hans Kelsen dengan teori hukum murninya, maka
tahap ketiga ini di direpresentasikan para penganut teori hukum empiris. 48 Penstudi
hukum yang termasuk kategori ini adalah mereka yang menggunakan model penalaran
Sociological Jurisprudence. Alasan-alasan dari pendapat ini dikemukakan pada saat
model penalaran ini dibicarakan pada tulisan lain pada kesempatan lain.
48 D.H.M. Meuwissen, “Teori Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal Pro Justitia, Tahun XII No. 2,
April 1994, hlm. 27–29.
28
SISTEM HUKUM
SISTEM HUKUM
((Subssttaanssii,, Sttrrukktturr,, Budaayyaa))
Partisipan
sseekaliguss
ppeennggaammaatt
ilmuwan/teoretisi//
filsuf hukum,
((tteeoorreettiissii))
SIISSTTEEMM
LAIINN
SSeejjarahwann,
ssoossiioolloogg,,
antropolog,, dll.
Posisii
Toeschouwer
Posisi
Meedeesspeelleerr
Possiissii aanttaarraa
Tooeesshhoouuwweerr& Medespeelleerr
pembentuk UUUU,,
hakiim,
ppeennggaaccaarraa,, ddllll..
((praktiissii)
© Shidarta, 2003
Ragaan 2: Posisi Partisipan dan Pengamat
III. PENUTUP
Uraian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa penalaran hukum memang memiliki
ciri-ciri yang unik. Keunikan ini hanya mungkin dipahami apabila karakteristik disiplin
hukum dipahami benar-benar oleh setiap penstudi hukum, khususnya mereka yang
berkecimpung sebagai pengemban hukum (rechtsbeoefenaren).
Di sisi lain, disiplin hukum adalah disiplin yang tidak homogen dalam menggunakan
model-model penalaran. Bahkan, sekalipun disiplin hukum ini telah dipersempit hanya
pada pengertian ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum), tetap saja tidak mudah untuk
mengidentifikasi model- model penalaran tersebut. Hal ini terutama terkait dengan posisi
penstudi hukum tersebut dalam memandang atau memperlakukan sistem hukum positif di
sebuah negara. Sementara itu, sistem hukum positif pada masing- masing negara tidak
pula dapat melepaskan diri dari perspektif historis yang menyelimutinya, termasuk dalam
menuntun sistem hukum tadi kepada dominasi salah satu kelompok keluarga sistem
hukum dengan segala kekhasannya.

PERIODISASI PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

(kuliah ke 10 : 2 Desember 2000)


Menurut Prof. Abdul Wahhab Khollaf (Maha Guru pada Fakultas Hukum Universitas Cairo) dalam karyanya Khulashah Tasyri’ Islam periode pembentukan perundang-undangan Islam dibagai dalam 4 (empat) periode, sebagai berikut.

Pertama, periode Rasulullah Saw, yaitu periode insya’ wa at-takwiin (pertumbuhan dan pembentukan) yang berlangsung selama 22 tahun dan beberapa bulan, yaitu terhitung sejak dari kebangkitan Rasulullah Saw pada tahun 610 M sampai dengan wafat beliau pada tahun 632 M. Periode ini terbagi dalam dua fase yakni fase Makkah (12 tahun dan beberapa bulan) di mana ummat Islam masih sedikit jumlahnya, masih terisolir dan masih dalam keadaan lemah sehingga belum memiliki pemerintahan yang kuat. Fase kedua dari periode pertama ini dalah fase Madinah (kurang lebih 10 tahun) terhitung sejak hijrah Rasulullah saw hingga wafatnya. Pada masa ini di samping ummat Islam sudah kuat juga sudah memiliki pemerintahan yang baik. Sumber hukum Islam pada masa adalah Wahyu Ilahi dan Ijtihad Rasulullah Saw.

Kedua, periode Shahabat, yaitu periode atfsiir wa-attakmiil (penjelasan dan penyempurnaan) yang berlangsung selama kurang lebih 90 tahun, sejak wafat Rasulullah Saw hingga akhir abad abad pertama hijrah (632 – 720 M). Dinamai dengan periode Shahabat karena pada masa ini kekuasaan perundang-undangan dikuasai oleh para shahabat Rasulullah Saw. Periode ini merupakan periode sosialisasi perundangan yang telah dibentuk oleh Rasulullah Saw. dan terbukanya pintu penggalian hukum terhadap berbagai peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya (ijtihad). Sumber hukum Islam pada masa ini adalah : al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijtihad para Shahabat.

Ketiga, periode at-tadwiin wa al-aimmatu al-mujtahidiin (pembukuan dan munculnya para imam mujtahid) yang juga merupakan zaman perkembangan dan kedewasaan atau masa keemasan hukum Islam. Periode ini berlangsung selama 250 tahun dari tahun 100 H – 350 H (720 – 961 M). Diantara faktor pendukung terhadap kondisi yang demikian ini a.l. : 1) pemerintahan Islam sudah meluas,2) ‘ulama yang memangku tugas perundang-undangan dan memberi fatwa sudah memenuhi kuantitas yang diperlukan, 3) ummat Islam sendiri sudah sangat kuat dalam menjaga diri sebagai suatu ummat, dan 4) muncul pemimpin-pemimpin yang berbakat. Sumber hukum Islam pada periode ini adalah : al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan Ijtihad dengan jalan qiyas dan ijtihad dengan jalan istinbat (mengambil hukum).

Keempat, periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) dan hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.l : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam berbagai kerajaan yang saling bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam kondisi yang demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai dalam berbagai tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad dalam mazhab, 2) tingkat kedua, mujtahid dalam beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhab, 3) tingkat ketiga, ahlu at-tahriej yang tidak melakukan ijtihad untuk mengambil hukum pada beberapa masalah dan hanya melakukan pembatasan mazhab yang dianutnya dalam menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) tingkat keempat ahlu at-tarjieh yang sanggup mempertimbangkan dan membandingkan diantara riwayat-riwayat dari para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dinilai paling shahih.

Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran hukum Islam, sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan hingga lahirnya kitab Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu kitab yang mengintrodusir perundang-undangan modern dalam hukum Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai dari lahirnya kitab al-Majallah hingga sekarang.









PERADILAN AGAMA

(Tatap muka XII)


Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Sebagai lembaga peradilan, PA telah dikenal sejak masuknya Islam ke Indonesia. Saat itu bentuknya masih sangat sederhana lembaga tahkim , yakni kegiatan untuk menyelesaikan sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama. Lembaa tahkim ini sesuai perkembangan dan kemajuan agama Islam di Indonesia kemudian pada tahun 1882 diakui keberadaan, kedudukan dan fungsinya di Jawa dan Madura. Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Selatan dan Timur pada tahun 1937, sedang di luar wilayah tersebut baru terjadi pada tahun 1957, lengkap dengan aturan perundang-undangannya. Jelas bahwa suasana kehidupan politik dari pembentukan PA tersebut di atas ada perbedaan. Untuk Jawa dan Maduran serta Kalsel dan Kaltim lahir dalam suasana politik kolonial dan di luar dua wilayah tersebut lahir dalam suasana politik kemerdekaan.