KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 dan diberi gelar “karya agung” oleh Menteri Kehakiman pada waktu itu Ali Said, di dalam praktek penuntutan perkara pidana temyata bisa memberi lubang bagi terdakwa, khususnya terdakwa yang didakwa melakukan korupsi untuk lepas dari jeratan hukum.
Dengan berlakunya KUHAP, pada prinsipnya wewenang melakukan penyelidikan perkara pidana berada di tangan Polisi. Sehingga timbul ungkapan bahwa Polisi adalah “penyidik tunggal”. Di luar Polisi memang ada penyidik lain, yaitu Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (PPNS) yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan oleh suatu undang-undang. PPNS ini misalnya penyidik PPNS Bea Cukai dalam perkara pidana penyelundupan, dan penyidik PPNS ini dalam melaksanakan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polisi.
Jaksa yang semula juga mempunyai wewenang menyidik, dengan berlakunya KUHAP maka wewenang tersebut pada prinsipnya hilang. Wewenang Jaksa dibatasi hanya melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan serta penetapan Hakim.
Ketika KUHAP mulai berlaku, di samping tindak pidana yang diatur di dalam KUHP dan dikenal dengan tindak pidana umum, juga berlaku undang-undang lain yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana tertentu dan kita kenal dengan tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus ini misalnya tindak pidana korupsi (diatur di dalam UU no. 3 tahun 1971 yang dicabut dan diganti dengan UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001), tindak pidana ekonomi (diatur di dalam UU no. 7 Drt tahun 1955, sekarang sudah dicabut), dan tindak pidana subversi (diatur di dalam UU no. 1l tahun 1963, sekarang sudah dicabut).
UU tertentu yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana khusus itu mempunyai acara pidana khusus yang memberi wewenang kepada Jaksa sebagai penyelidik, penyidik di samping sebagai penuntut umum.
Landasan hukum berlakunya UU tertentu yang memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tersebut di dalam KUHAP dimuat di dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat 2. Ketentuan ini sifatnya sementara, mengingat UU tertentu tersebut akan “ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya” (penjelasan pasal 284 ayat 2 KUHAP).
Sampai saat ini, setelah KUHAP berlaku lebih dari 20 tahun, beberapa UU tertentu telah dicabut, antara lain UU Tindak Pidana Ekonomi dan UU Pemberantasan Subversi dan terakhir UU no. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru yaitu UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001, ternyata masih memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara korupsi. Wewenang Jaksa di sini tidak lagi bersifat sementara, karena dengan dicabutnya UU no. 3 tahun 1971 pada tanggal 16 Agustus 1999, maka wewenang Jaksa tersebut tidak lagi terkait dengan pasal 284 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian dalam perkara korupsi terdapat dua aparat penyidik yaitu Jaksa (berdasarkan UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001) dan Polisi (berdasarkan KUHAP).
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi mempunyai persamaan unsur dengan beberapa tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHP. Hal ini nampak antara lain dari UU no. 3 tahun 1971, UU no. 31 tahun 1999, dan UU no. 20 tahun 2001 yang mengadopsi secara utuh pasal-pasal KUHP tertentu ke dalamnya. Sehingga, pasal-pasal pidana umum tersebut dikualifisir menjadi pasal-pasal korupsi, misalnya pasal 419, 420, 423, 425 KUHP dan sebagainya.
Dalam tindak pidana korupsi tertentu substansi unsur-unsurnya mempunyai persamaan dengan tindak pidana umum. Perbedaannya hanya terletak pada adanya keterkaitan dengan negara, misalnya: yang dirugikan oleh perbuatan pidana tersebut adalah negara. Dalam hubungan ini seandainya perbuatan pidana tersebut merugikan perseorangan (bukan negara), maka perbuatan pidana tersebut masuk dalam kualifikasi pidana umum, bukan tindak pidana korupsi.
Contohnya adalah seseorang membuat kwitansi palsu dan dengan kwitansi palsu tersebut ia berhasil menarik uang dari suatu kantor pemerintah. Kasus seperti ini merupakan perbuatan memalsukan surat sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 263 ayat 1 KUHP. Tetapi karena yang dirugikan adalah kantor pemerintah, maka perbuatan tersebut dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi oleh pasal 2 UU no. 31 tahun 1999. Jadi, sebelum adanya UU Korupsi yang pertama yaitu UU no. 24 Prp tahun 1960, kasus tersebut di atas merupakan tindak pidana umum dengan kualifikasi kejahatan.
Tindak pidana korupsi pada umumnya dipahami sebagai tindak pidana khusus dan diatur di dalam UU pidana khusus atau lex specialis (bijzondere wet), sedangkan tindak pidana umum yang diatur di dalam KUHP difahami sebagai lex generalis (algemene wet). Dalam perkembangannya, saat ini lahir berbagai UU yang memuat perbuatanperbuatan yang dikualifisir sebagai tindak pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur spesifik yang tidak dikenal oleh KUHP. Contohnya adalah perbuatan-perbuatan yang dikualifisir sebagai tindak pidana dalam UU no. 7 tahun 1992 jo UU no. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Perbuatan seperti contoh di atas dapat dikualifisir sebagai tindak pidana khusus karena diatur dalam UU khusus atau lex specialis. Namun karena tidak mempunyai acara pidana yang khusus sebagaimana dimaksud oleh pasal 284 ayat 2 KUHAP maka wewenang penyidikan dilakukan oleh Polisi. Mengacu kepada KUHAP, maka penanganan atas perkara korupsi yang dilakukan oleh penyidik Jaksa dan penyidik Polri dapat membuahkan hasil yang berbeda.
Contohnya adalah dalam kasus BLBI di mana terjadi pelanggaran terhadap UU Perbankan yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Kalau kasus itu disidik oleh Jaksa maka Jaksa akan mengkontruksikan pelanggaran terhadap UU Perbankan sebagai perbuatan “melawan hukum” dikaitkan dengan pasal 2 UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001. Hal ini akan membawa dampak bagi Jaksa dalam menyusun surat dakwaan, yaitu Jaksa hanya dapat menyusun dakwaan pelanggaran terhadap UU Korupsi.
Sedangkan jika kasus itu disidik oleh Polisi, maka Polisi dapat memasukkan dalam berkas perkara 2 (dua) sangkaan, yaitu pelanggaran terhadap UU Korupsi dan atau pelanggaran terhadap UU Perbankan. Sehingga dalam tahap penuntutan Jaksa dapat membuat surat dakwaan dengan dua pelanggaran secara kumulatif maupun alternatif, yaitu pelanggaran terhadap terhadap UU Korupsi dan atau pelanggaran terhadap UU Perbankan. Praktek seperti tersebut di atas terjadi sebagai konsekwensi dari wewenang Polisi yang berdasarkan KUHAP dapat melakukan penyidikan baik terhadap perkara korupsi maupun tindak lainnya baik yang diatur di dalam KUHP maupun di dalam lex specialis (seperti perkara pelanggaran UU Perbankan tersebut).
Sedangkan wewenang Jaksa hanya terbatas pada melakukan penyidikan perkara korupsi. Pada perkembangan selanjutnya, pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 memerintahkan terbentuknya UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.
Seperti telah dikemukakan dalam contoh di atas, dalam suatu perkara korupsi kemungkinan terkait atau terkandung di dalamnya tindak pidana lain (misal: adanya pemalsuan surat atau pelanggaran terhadap suatu lex specialis), sehingga seharusnya semua tindak pidana yang terjadi bisa disidik dan dituntut sekaligus bersama-sama. Kalau wewenang untuk menangani kasus seperti ini tidak dipunyai oleh Komisi, maka efektivitas Komisi akan tidak optimal, sebagaimana yang dialami oleh Jaksa dalam memberantas korupsi secara represif.
Komisi tersebut perlu diberi wewenang yang luas dalam arti mempunyai wewenang menangani perkara korupsi maupun perkara lain yang terkait dengan suatu perkara korupsi sekaligus baik dalam penyidikan maupun dalam penuntutan. Wewenang luas yang “menerobos” KUHAP perlu diberikan kepada Komisi untuk menghadapi korupsi sebagai extra ordinary crime dengan modus operandi yang beraneka ragam dan complicated. Jika kita bersikap selalu mengacu kepada KUHAP dan tidak berani mengambil terobosan dalam menghadapi korupsi, mudah diduga bahwa Komisi tidak akan mencapai keberhasilan dan kegunaan sebagaimana diharapkan. Atau dengan kata lain Komisi akan menjadi senjata tumpul.
[Suhadibroto]
sumber : http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=40