Oleh : Yuli Dian Fisnanto
Pernikahan dilakukan untuk memberikan legalitas atau memberikan perlindungan serta kepastian hukum apabila hal tersebut diatas dilakukan dengan mendasarkan pada aturan yang ada, aturan yang dimaksud tentunya yang berlaku pada wilayah atau yuridiksi tertentu.
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, pengertian tersebutlah yang membedakan antara perikatan/perjanjian dalam perkawinan dengan perikatan/perjanjian pada umumnya atau perikatan perdata yang hanya menjangkau perikatan secara lahir saja.
Hukum positif di Indonesia atau hukum yang berlaku di Indonesia telah memberikan batasan secara “LEX SPECIALE” atau secara khusus mengenai perkawinan tersebut yakni melalui Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam.
Seperti kita ketahui bahwa suatu aturan ataupun hukum yang berlaku di Indonesia maupun beberapa Negara lain bersifat tidak hanya menjangkau legalitas formal saja atau pengesahan saja tetapi juga menganut pertimbangan moral, sosial, politis, dan historis, sosiologis, dan yuridis. Lalu bagaimana hukum di Indonesia mengatur mengenai perkawinan, khususnya mengenai perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang masih dibawah umur atau belum dewasa.
Terlebih dahulu mari kita lihat salah satu syarat – syarat sahnya suatu perkawinan berdasarkan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pasal 6 ayat (2) : untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 7 ayat (1) jo pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah berusia 19 tahun dan pihak wanita berusia 16 tahun.
Penyimpangan terhadap ketentuan datas dapat meminta dispensasi kepada pengadilan agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak wanita maupun laki – laki, berdasarkan ketentuan beberapa pasal diatas kita ketahui seorang baru dapat dikatakan siap untuk melakukan perkawinan jika pria berusia 19 tahun dan wanita 16 tahun, hal ini tidaklah lain bertujuan untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan perlu ditetapkan batas umur untuk melangsungkan perkawinan.
( penjelasan Undang – Undang No 1 tahun 1974)
Pengertian sehat yang dianut oleh UU Nomor 1 tahun 1974 mengandung pengertian sehat secara LAHIR MAUPUN BATIN, berprinsip bahwa suami istri harus telah masak (matang) jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan yang baik. Baik yang dimaksud tentunya masing – masing pihak dapat mengerti,mampu, dan siap menjalankan apa yang menjadi kewajibanya, tidaklah mungkin tujuan tersebut dapat tercapai apabila masing – masing pihak masih belum cakap/ dewasa. Untuk itulah sebisa mungkin harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami dan canlon istri yang belum dewasa, batas umur yang rendah untuk melangsungkan perkawinan akan mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi.
Mengenai batas usia seorang dikatakan dewasa juga diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yakni dalam pasal satu ayat (1) anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Namun undang – undang no 23 tahun 2002 lebih memfokuskan pada ekploitasi anak, sehingga keterkaitan antara UU perkawinan dan UU perlindungan anak, adalah bahwa pernikahan pada usia dibawah umur merupakan ekploitasi anak apabila dilaksanakan dengan tidak mengindahkan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang maupun peraturan pelaksana lainya.
Sebagaimana disebut diatas pernikahan dibawah umur hanya dapat dilakukan melalui dispensasi yang diberikan oleh pengadilan (Pengadilan Agama),atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua para pihak, tentunya dengan memperhatikan pertimbangan nilai sosial, kesehatan dan perkembangan psikologis anak.
Akan tetapi ada baiknya jika sebelum hal tersebut diatas dilakukam hendaknya kita khususnya para orang tua lebih bijak untuk mempertimbangkan antara manfaat dan mudharatnya, tidak hanya pada pertimbangan untung rugi saja, apalagi hanya didasarioleh factor keputus asaan semata, sehingga dalam hal ini masa depan anak, kesehatan baik lahir maupun bathin, tidak kita pertaruhkan. Hal tersebut sangat beralasan sebab Suatu perikatan perkawinan akan melahirkan tanggung jawab baru yang lebih besar bagi para pihak.