Thursday, 27 December 2007

REFLEKSI KRITIS PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM INDONESIA

oleh : Yuli Dian Fisnanto


BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai Negara yang berkembang serta dalam proses menuju kebangkitan dari keterpurukan akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, berbagai hal dapat dijadikan sebuah pelajaran bagi bangsa Indonesia diantaranya dengan mengkaji kembali beberapa hal yang menyangkut politik, hukum, ekonomi serta kebijakan yang lain, apakah kita menganut sistem yang salah atau penerapan sistem tersebut yang salah.
sebagai Negara yang besar Indonesia sangat berpotensi menjadi bangsa yang besar dan bukan hanya menjadi Negara yang besar tetapi juga dapat menjadi sorotan positif bagi bangsa lain.
Reformasi 1998 membawa Indonesia ke dalam kondisi kehilangan pandangan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Pancasila yang seharusnya menjadi dasar utama pemersatu pandangan-pandangan hidup manusia indonesia, kehilangan kesaktiaanya. Pancasila limbung diterpa “demokratisasi” dan krisis ekonomi. Kepercayaan masyarakat terhadapnya kian surut. Dan bahkan sebagian memandang tidak ada perlunya lagi Pancasila dipertahankan. Pancasila sudah tidak relevan, bahkan tidak lagi berguna. Alih-alih menjadi pemersatu bangsa, Pancasila malahan dianggap sebagai pemicu perpecahan bangsa.
. Upaya-upaya pemisahan diri, yang muncul di Aceh, Sulawesi, Papua, tidak lain karena ada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan Pancasila. Selain itu, Pancasila juga menjadi alat diskriminator terselubung dalam negeri yang beragam ini.

Sebagai sebuah bangsa yang majemuk tentunya kita membutuhkan satu pandangan hidup bersama sebagai pemersatu bangsa. Lalu apa jadinya bila satu pandangan itu di hilangkan? Perang ideologi akan muncul. Ideologi agama, Marxisme, nasionalisme, tradisionalisme dan banyak lagi ideologi lain yang akan saling bertempur memperebutkan dominasi. Tentunya bila perang ideologi ini terus berlangsung maka tidak pelak menimbulkan kekacauan sistem sosial Indonesia. Untuk itulah kembali ke pelukan Pancasila adalah jalan yang tepat yang harus dipilih bangsa Indonesia.
Pembentukan berbagi sistem yang dianut bangsa Indonesia tertuang dalam sebuah konstitusi yang disebut Undang – Undang Dasar 1945, dan juga termuat dalam peraturan yang lain, akan tetapi pembentukan daripada sistem tersebut juga harus mendasarkan pada sumber yang paling mendasar yang didalamnya termuat berbagai tujuan, cita – cita, serta cermin kepribadian bangsa, sehingga diharapkan setiap sistem, kebijakan, maupun peraturan yang disusun tidak bertentangan dengan beberapa hal tersebut tadi.
Di dalam TAP MPR RI No. 3/MPR/2000, beberapa sumber hukum tertulis ditentukan sebagai berikut :

1. pancasila
2. pembukaan UUD 1945
3. batang tubuh UUD 1945 dan amandemenya
4. ketetapan majelis permusyawaratan rakyat
5. undang – undang
6. peraturan perundang – undangan
7. peraturan pemrintah
8. keputusan presiden
9. peraturan daerah

“ Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang memuat judul tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum republik ndonesia dan tata urutan peraturan perundangan republik Indonesia, didalam lampiranya menyatakan sebagai berikut : Pancasila : sumber dari segala sumber hukum “ ( H. Subandi Al Marsudi, SH., MH, 2003 : 10-11 ).
Sehingga dengan hal tersebut hendaknya pancasila benar – benar mampu melaksanakan apa yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia artinya setiap peraturan perundang – undangan di Indonesia harus mengacu kepadanya dan tidak menyimpang dari ketentuan serta asas – asas yang terkandung didalamnya. Segala cita – cita luhur bangsa Indonesia tersirat dalam naskah pancasila hal tersebut dapat diartikan bahwa pancasila dapat dijadikan alas dalam melaksanakan cita – cita yang luhur tersebut. Dari pengertian pancasila merupakan cermin kepribadian bangsa yang mengandung arti pandangan hidup, dasar Negara, tujuan dan kesadaran bangsa juga terkandung didalamnya
Dari hal tersebut maka bangsa Indonesia memiliki cita – cita luhur yang terkandung didalam pancasila, akan tetapi untuk dapat mewujudkan berbagai cita – cita dan tujuan bangsa Indonesia sesuai dengan apa yang diamanatkan rakyat yang tercantum dalam pancasila tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya memaknai kembali nilai – nilai luhur yang terkandung dalam pancasila sehingga pancasila akan tetap mampu menjadi sumber hukum bangsa Indonesia.
Dengan adanya pemaknaan akan nilai – nilai yang terkandung didalam pancasiala maka langkah awal untuk melakukan pembaharuan khusnya di bidang hukum yang sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat akan dapat tercapai.
meskipun tidak dapat dipungkiri seiring dengan perkembangan jaman serta pencampuran budaya secara global secara tidak disadari amanat yang terkandung didalam pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sedikit demi sedikit semakin terkikis. sehingga penulis menyatakan berbagai hal tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan muncul satu masalah yang utama adalah semakin menipisnya rasa nasiaonalisme dan cinta tanah air bangsa Indonesia sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kualitas daripada sistem yang diciptakan.

BAB II
PEMBAHASAN


Pemahaman Masyarakat

Pancasila disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum, tentunya akan menciptakan sebuah asumsi bahwa pancasila merupakan sumber hukum yang sempurna yang mampu menjangkau berbagai aspek. hal tersebut mengartikan bahwa kualitas akan produk hukum kita ditentukan oleh seberapa jauh bangsa Indonesia mampu memaknai atau memahami sumber dasarnya itu sendiri.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah semakin lama pemahaman terhadap nilai – nila pancasila sebagi sumber hukum justru semakin memudar, oleh karena itu sepertinya kita perlu mempelajari kembali akan nilai yang terkandung didalam pancasila.
Pengaruh masuknya budaya – budaya asing di tengah – tengah kehidupan masyarakat yang selalu dikuti tanpa adanya penyaringan kaidah merupakan salah satu penyebab semakin terkikisnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Adapun pendapat yang menyatakan “ untuk meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap nilai – nilai pancasila pertama kali perlu dibangun adanya “rasa memiliki” terhadap nilai – nilai pancasila. ( sumaryati, 2005 : 115 ).
Pemahaman akan nilai atau makna yang terkandung didalam tiap sila- sila pancasila mustinya harus dimulai sejak dini mulai dari pendidikan yang paling bawah hingga pada tingkat pendidikan tinggi dengan tidak mendiskriminasi kajian ilmu tersebut, artinya selama ini kajian yang menyangkut pemahaman akan pancasila masih ditempatkan pada posisi dibawah, satu contoh misalnya pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, dari jenjang pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan tinggi sepertinya tidak terlalu diutamakan dan kurang mendapat perhatian baik dari kalangan pelajar maupun pengajar sehingga tidak jarang para generasi muda yang mengabaikan dan tidak memahami akan makna yang terkandung didalam pancasila itu sendiri.
Kekuasaan legislatif ( legislative power ) sebagai kekuasaan pembentuk undang – undang sepertinya belum sepenuhnya menjamin akan mampu membentuk sebuah peraturan perundang – undangan yang sempurna akan tetapi justru sebaliknya yang terjadi saat ini, undang – undang yang di bentuk seolah – olah merupakan produk kepentingan semata sehingga hanya berlaku relevan dalam jangka waktu tertentu saja atau relatif singkat sehingga kembali lagi harus melakukan perubahan terhadap undang – undang tersebut.
Di dalam pembentukan undang – undang maupun peraturan yang lain tentunya tidak dapat dipisahkan dari aspek sosiologis, yuridis, serta aspek historis, masing – masing hal tersebut merupakan hal mendasar yang harus dijadikan landasan dan di perhatikan dalam pembentukan maupun perumusan sebuah peraturan hukum. Khususnya dari aspek historis perlu diperhatikan sumber hukum yang paling dasar yaitu pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, lahirnya suatu produk hukum yang tidak mendasarkan hal tersebut tentunya akan menimbulkan berbagai persoalan di dalam penerapanya. hal itu dikarenakan dasar hukum tersebut menyangkut falsafah dan pandangan hidup bangsa.


Rumusan di dalam UUD 1945

Setiap sila dari pancasila juga di siratkan di dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 pada alenia ke 4 yang berbunyi ;
“ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara indonesia yang melindungi segenapbangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan indonesia itu dalam suatu undang – undang dasar negara republik indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ; ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadialn sosial bagi seluruh rakyat indonesia “. ( UUD 1945 dan amandemenya )

Pada hakekatnya dibentuknya sebuah undang – undang maupun peraturan lainya bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat didalam hubunganya antar anggota masyarakat yang lain, sehingga diharapkan mampu menjamin sebuah kepastian hukum.
Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro. SH yang dikutip dari R. Soeroso. SH dalam bukunya “ Pengantar Ilmu Hukum “ mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. ( R. Soeroso. SH, 2002 : 56 ). Dari teori tersebut maka konsep yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke 4 dalam kalimat “...membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia...” maka dapat terpenuhi, hanya saja dalam penerapanya masih banyak mengalami berbagi hambatan dan persoalan.
Rumusan yang terkandung didalam alenia ke 4 pembukaan UUD 1945 tersebut sangat komplek, artinya rumusan tersebut sudahlah sangat cukup dijadikan landasan untuk membentuk suatu sistem yang mampu menjangkau berbagai aspek yang terdapat di dalam negara indonesia.
Dari hal tersebut maka konsep pancasila yang tersirat didalam pembukaan UUD 1945 merupakan tujuan nasional bangsa indonesia, yang terdiri dari

1. membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia
2. memajukan kesejahteraan umumdan mencerdaskan kehidupan bangsa
3. melaksanakan ketertiban dunia.
4. negara indonesia mempunyai falsafah dasar pancasila yaitu ; ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpn oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

selain daripada itu didalm pembukaan ”peambule “ tesirat beberapa pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, diantaranya sebagai berikut ;
1. Pokok pikiran yang pertama → persatuan

Bangsa indonesia merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai ragam budaya, adat dan kelompok, lahirnya berbagai keragaman tersebut justru akan menimbulakan persoalan misalnya perpecahan, apabila tidak dilandasi oleh sutu falsafah yang tertuang didalam sila ke 3 pancasila yang berbunyi “ pesatuan indonesia “ dikuatkan dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 “ negara indonesia adalah negara kesatuan yang berbntuk republik “ hal tersebut telah menjadi alas yang paling dasar sejak bangsa indonesia merdeka, sehingga dengan modal persatuan dan kesatuan bangsa diharapkan akan terjadi rasa saling menghormati setiap perbedaan tersebut. Hanya saja menurut saya, yang terjadi saat ini sikap saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan justru semakin jauh keluar dari hakikatnya artinya perbedaan antar suku, ras, budaya, agama dan lain sebagainya seolah olah telah masuk kedalam bentuk “intervensi” yang mana memang diantara kedua sikap tersebut memiliki batasan yang sangat tipis sehingga keanekaragaman tersebut justru memunculkan penafsiran yang braneka ragam pula. hal inilah sebenarnya yang menjadi bumerang bagi bangsa kita. solusi mengenai hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab kesimpulan dan saran.

2. Pokok pikiran yang kedua → keadilan sosial

pasal 33 ayat (4) “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Dari isi pasal tersebut tercermin bahwa bangsa indonesia menhendaki setiap warga negaranya melaksanakan apa yang menjadi kewajibanya serta jaminan untuk memperoleh hak dan perlakuan yang adil dalam status sosial dan ekonomi khususnya. Namun dalam penerapanya seperti kita ketahui bersama banyak sekali diskriminasi dan ketimpangan – ketimpangan dalm berbagai hal, penyebabnya tidak lain adalah status sosial dan kekuasaan, artinya jaminan kesejahteraan seolah – olah justru menjadi alasan utama bagi golongan yang memiliki kedudukan tinggi untuk mendapatkan berbagai tunjangan dengan berbagai alasan.
Sedangkan dalam bentuk lembaga pokok pikiran yang kedua ini terlihat dengan adanya departemen sosial yang bertugas menyelesaikan berbagai permasalahan sosial, sedangkan dalam bidang legislatif tercermin dalam setiap putusan hakim selalu memuat klausul “ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”

3. Pokok pikiran yang ketiga → kerakyatan

Sebagai perwujudan dari negara demokrasi, salah satu pilar utamanya adalah kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran maupun kepentingannya. ( Huntington, 1994 : 1 ) menandaskan bahwa partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Menurut pendapat Dahl (dalam Budiardjo, 1996 : 60), praktek demokrasi selalu melibatkan dua dimensi, yaitu perlombaan (contestation) dan peran serta (participation).

4. Pokok pikiran yang ke empat → ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab

Pasal 29 ayat (1) “ negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa “ dar pengertian tersebut indonesia merupakan negara yang beragama dalam artia luas, artinya masyarakat indonesia terdiri dari berbagai macan pemeluk agama yang berbeda – beda, meskipun mayoritas masyarakatnya beragama islam namun bukan bukan berarti negara hanya melindungi agama mayoritas saja, hal in dituangkan dalam pasal 29 ayat (2) “ negaar menjamin kemerdekann tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu “ .
Berbagai konflik yang terjadi di indonesia yang di klaim merupakan konflik agama merupakan suatu bentuk kurangnya pemahaman masyarakat mengenai asas yang terkandung dudalam pancasila umunya dan asas ketuhanan yang maha esa pada khsusnya.
Adanya pengakuan dan perlindungan hak –hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang plitik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan, merupakan salah satu dari ciri negara hukum yang bertujuan untuk menjamin hak –hak warga negaranya. Hal tersebut dituangka dalam pasal 28D ayat (1) “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, prlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan ukum “ selain itu juga dengan dikeluarkan UNDANG – UNDANG No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

Pembentukan maupun perubahan sebuah undang – undang dalam rangka proses melaksanakan tujuan nasional merupakan suatu hal yang formalistik saja asalkan dapat mengikuti ketentuan atau asas – asas yang tersebut diatas, namun selain daripada hal tersebut juga diperlukan komitmen keras bangsa indonesia yang harus ditanamkan dalam semangat nasionalisme tiap elemen bangsa sehingga sebuah tujuan nasional tersebut tidak hanya sebuah catatan semata atau hanya tertulis dalam sebuah undang – undang saja. Undang – undang dasar maupun peratran perundangan yang lain hanya merupakan instrumen kebijakan yang mendasari setiap pelaksanaan tujuan nasional tersebut.
Pasal 1 ayat ( 2 ) UUD 1945 hasil amandemen disebutkan “ kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang “ dan pada ayat ( 3 ) disebutkan “ negara inonesia adalah negara hukum “ sehingga rakyat dalam hal ini rakyatlah yang memiliki peran utama dalam pelaksanaan tujuan nasional akan tetapi undang – undang mengatur dan mendasari bagaimana pelaksanaanya
Berbagai perubahan terhadap UUD 1945 telah banyak memberikan warna baru dalam sistem ketatanegaraan indonesia, hal tersebul adalah wajar sebagai konsekuensi dari tuntutan reformasi. Perubahan terhadap intrumen UUD 1945 dapat dipahami sebagai bentuk relevansi atau penyesuaian terhadap perkembangan budaya, sejauh perubahan tersebut tidak sampai pada “ pembukaan / preambule “ hal itu sah – sah saja hanya saja apabila perubahan tersebut telah menjangkau kepada pembukaan UUD 1945 tentunya akan mnghilangkan bebrapa hal terpenting didalamnya termasuk tujuan nasional bangsa. “ Namun demikian, ada bagian terpenting dari UUD 1945 yang disepakati oleh MPR 1999 untuk tidak diubah sama sekali. Bagian dimaksud adalah Pembukaan (“Preambule”) UUD 1945. Pembukaan dikatakan sebagai bagian terpenting karena disanalah tertuang Pancasila yang merupakan norma fundamental Negara.
Sehingga dari setiap perubahan UUD 1945 diharapkan tidak merubah secara total isi daripada UUD 1945, “ karena itu, sebagai kompromi, pelaksanann agenda perubahan UUD 1945 diusahakan untuk menghindari penggunaan istilah ‘penggantian’ UUD. Yang disepakati adalah ‘perubahan’ bukan ‘penggantian’ yang berkonotasi total “ ( Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2004 : 6 )
Perkembangan-perkembangan ini membawa kita kepada pertanyaan lanjutan, apakah memang perlu kita mempertanyakan hal-hal yang bersifat ideologis pada saat ini? Atau, tidakkah lebih produktif apabila kita mengarahkan seluruh perhatian kita kepada penyelesaian persoalan-persoalan konkret bangsa seperti kemiskinan, ketidaksejahteraan dan ketidakadilan yang meluas di tengah-tengah masya- rakat kita?


BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

Pemahaman yang benar akan nilai – nilai yang terkandung didalam pancasila merupakan suatu langkah awal untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air di dalam diri warga indonesia, serta mendorong tumbuhnya rasa rela berkorban dan selalu ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan Negara.
Pendidikan formal mustinya mampu memberikan porsi yang istimewa terhadap mata pelajaran atau mata kuliah yang menyangkut pemahaman nilai – nilai pancasila sehingga diharapkan setiap generasi dapat mengertia akan cita luhur yang terkandung dalam pancasila.
Berangkat dari hal tersebut, maka setiap perumusan suatu produk hukum akan didasari rasa mencintai bangsa yang akan berdampak pada keinginan untuk memberikan sesuatu yang terbaik terhadap bangsa dan Negara, sehingga kebijakan apapun yang menyangkut kepentingan Negara akan ditujukan kepada kesejahteraan warga Negara. akan tetapi yang muncul saat ini adalah berbagai produk hukum maupun kebijakan yang lain seolah – olah hanya mengakomodasikan kepentingan kelompok atau golongan tertentu saja.
Munculnya berbagai konflik yang mengarah kepada konflik agama serta berbagai perbedaan yang ada di Indonesia. Hal tersebut bisa saja disebabkan oleh munculnya bebagai penafsiran serta kurangnya pemahaman akan nilai yang terdapat dalam tiap sila pancasila, akibat dari berbagai pemahaman yang ada memunculkan suatu anggapan bahwa apa yang mereka lakukan adala benar. Dengan keadaan seperti ini pemerintah harus mampu memberiakn suatu ketentuan atau penjelasan baku serta memberi batasan – batasan pengertian mengenai hal tersebut sehingg apabila munculpenafsiran yang keluar dari ketentuan yang baku tersebut maka dapat dilakukan tindakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Al Marsudi Subandi H. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Rajawali Pers.
Asshiddiqie Jimly. 2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta. FH UII PRESS
Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia
____________, 1994. Demokrasi di Indonesia :Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta : Gramedia

____________, 1994. Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Gramedia
Huntington, Samuel P. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rajawali.
Kencana Syafi’ie Inu. 2003. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung : Refika Aditama.
Kusnardi Moh, Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Soeroso. R. 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika
Sumaryati. 2005. Jurnal Ilmu Hukum Novelty. Yogyakarta.
Undang – Undang dasar republik Indonesia dan Amandemenya. Surakarta : Pustaka Mandiri



Saturday, 22 December 2007

WHITE COLLAR CRIME ( WCC )

White Collar Crime (WCC) :

· Kejahatan oleh orang – orang yang memiliki jabatan tertentu yang menyangkut manajemen. “tidak menjangkau yang diluar hokum pidana”

· Pelanggaran hokum pidana oleh orang yang memiliki kedudukan social ekonomi tinggi.

· Sedangkan menurut EIDEL ; tindakan illegal yang dilakukan dengan cara non fisik dan dengan penyembunyian atau tipu muslihat untuk memperoleh uang atau harta benda dan pemanfaatan perorangan.

· E. A. Ross ; sedikit bertolak dengan EIDEL yang menyatakan sedikit pelanggaran kaidah moral lebih penting dari sisi hokum kejahatan korporasi sebagai WCC yang tidak di ilhami oleh dorongan jahat.

Violisil Crime Law :

  • pelanggaran yang dilakukan bersamaan dengan aktifitas pekerjaan / jabatanya.

WCC terdiri dari :

  • Kejahatan Okupasi : memperoleh keuntungan dalam melakukan kejahatan korporasi. Misalnya, seorang pegawai negeri melakukan manipulasi / mark up data anggaran untuk kepentingan pribadi.
  • Kejahatan Korporasi : kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan nama korporasi tersebut.

Sebagaii konsekuensi berbagai istilah dan focus perhatianya, “ Joan Miller “ membagi WCC kedalam empat kategori :

1. organizational of occupational crime yaitu kejahatan yang dilakukan para eksekutif demi keuntungan perusahaan berakibat kerugian pada masyarakat. Dimanapun mereka berada.

Misalnya ; manipulasi pajak, penipuan iklan.

2. governmental occupational crime yatu kejahatan yang dilakukan oleh pejabat atau birokrat misalnya perbuatan sewenang – wenang yang merugikan masyarakat yang terkait dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki dan sangat sulit terdeteksi karenadilakuakn berdasarkan keahlian dan berbarengan dengan kejabatanya.

3. profesional occupational crime yaitu pelaku kajahatan ini mencakup berbagai pekerjaan atau profesi. Disamping kerugian yang bersifat ekonomis juga mengancxam keselamatan jiwa seseorang. ( tidak menutup kemungkinan timbulnya kriminogen / kejahatan dalam bentuk lain.

Misalnya ; dokter, pengacara, akuntan.

Contoh ; aborsi, eutasia / suntik mati, tindakan dokter diluar profesi.

4. individual occupational crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh individu artinya pekerjaan yang dilakukan dengan menyimpang yang menimbulkan kerugian perusahaan.

Dari ke empat defininisi tersebut WCC dilakukan tanpa kekerasan melainkan dengan kecurangan, rekayasa. Dll.

Berbagai karkteristik “ WCC “ :

1. low visibility ; kejahatan tersebut sulit dilihat karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal yang rutin dan melibatkan keahlianya serta sangat komplexs.

2. complexcity ; kejahatan tersebut sangat komplexs karena berkaitan dengan kebohongan, penipuan, pengingkaran, serta berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologi, terorganisasi, melibatkan banyak orang dan berjalan bertahun – tahun.

3. defussion of responsibility ; terjadinya penyebaran tanggung jawab yang semakin luas akibat kekomplekan organisasi, artinya setiap kebijakan yang merupakan bagian kejahatan yang ditimbulkan oleh perusahaan biasanya tanggung perusahaan bertanggung jawab terhadap hal tersebut meskipun hal etrsebut dilakukan oleh satu pihak saja namun disini tanggung jawab tidak bias di bebankan oleh satu pihak tersebut. Misalnya, seseorang pegawai melakukan kejahatan atau kecurangan terhadap perusahaan sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan, nah disini secara otomatis perusahaan juga ikut bertanggung jawab.

4. defusion of victimization ; penyebaran korban melalui pencemaran lingkungan. Misalnya, sebuah pabrik yang menghasilkan limbah berbahaya dan limbah tersebut mencemari sungai maka secara otomatis sepanjang sungai tersebut akan tercemar sehingga banyak sekali korban.

5. detection and proccution ; hambatan dalam penuntutan akibat profesi dualisme yang tidak seimbang antara penegak hokum dan pelaku. Misalnya ; seorang penyidik kepolisian hanya lulus SMU yang sedang menangani kasusu sedangkan tersangkanya seorang intelektual yang berpendidikan tinggi.

6. ambiguitas law ; peraturan yang tidak jelas yang sering menimbulkan kerugian pada penegak hokum.

Pengaturan WCC justru lebih banyak ditemukan diluar KUHP. Berbagai bentuk WCC sudah dapat pengaturan dalam literatur kriminologi dikenal beberapa istlah :

  • street crime
  • underwold crime

ditujukan pada masyarakat secara konvensonal atau pelakunya adalah orang – orang yang mempunyai status social bawah sedangkan “organization crime” ditujukn pada masyarakat yang erorganisasi ( korporasi, badan hokum ) sedangkan WCC kejahatan dilakukanoleh orang – orang terhormat “upperwold crime” sehingga disini oleh Gilberg Geis” dikatakan WCC merupakan kesamaan dari “upperwold crime.” Penemuan hokum pidana menjadi WCC dilatarbelakangi oleh pelaku besertar latar belakangnya karena memiliki sifat –sifat yang khas.

Ada beberapa yang dijadikan alasan ;

  • adanya paradikma baru dalam memahami kejahatan, adanya WCC menegaskan alasan sebelumnya bahwa kemiskinan menjadi alasa penyebab terjadinya kejahatan.
  • Memperluas pelaku, (subyeknya diprluas ) kejahatan hanya dilakukan oleh subyek hokum orang ternyata tidak sepenuhya mampu menjangkau permasalahan. Bentuk – bentuk baru perbuatan pidana ebelumnya tidak dipandang sebaai perbuatan pidana, pelaku bias dalam bentuk badan hokum.
  • Perluasan terhadap pengertian kejahatan, kemajuan sector ekonomi dan lainya ada pengaruh timbale balik terhadap hokum pidana .

WCC, ditafsirkan sebagai tingkat kemunafikan apa yang dikatakan WCC merupakan penipuan oleh kalangan atas atau kerah putih.

Anjak Piutang ( factoring )

adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang tau tagihan atau transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.

Adapun pokok – okok kegiatan dalam anjak piutang secara garis besar sebagai berikut :

anjak piutang adalah kegiatan pembiayaan dalam halini berarti penyedia dana bagi kepentingan pihaka penjual piutang.

Kegiatan anjak piutang itu dilakukan oleh prusahaan anjak piutang yang berupa ;

  1. kegiatan pokok pembelian dan atau pengalihan piutang jangka pendek yang timbul dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri

“ tagihan jangka pendek → tagihan yang berjangka 1 – 5 bulan “

  1. Kegiatan sampingan selain kegiatan pokok diatas dalam prakteknya ada kegiatan lain dalam perusahaan factoring berupa piñata usahaan, penjualan kredit, serta penagihan piutang, kegiatan ini juga dsisebut dengan non financing meliputi ;
    • credit investigation ; menyelidiki atau menilai sesuatu kemampuan pembayaran dari customer untuk dijadikan pertimbangan oleh pihak supplier.
    • sales largee administrason ; melakukan pembukuan atas hasil penagihan yang telah dilakukan serta membukukan posisi hutang customer.

Tuesday, 18 December 2007

Hukum Lingkungan

Artikel Hukum Lingkungan
KEWAJIBAN MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN dan
PENAGGULANGAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

oleh : Yuli Dian Fisnanto

PENGANTAR

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi
semakin parahnya pencemaran lingkungan termasuk membuat undang – undang No 3
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Linkungan Hidup, namun sepertinya hal tersebut masih
sulit sekali membuahkan hasil.
Dalam uraian tiap pokok bahasan penulis akan mengkaji berbagai persoalan serta hal –
hal yang terkait dengan semakin parahnya kerusakan maupun pencemaran lingkungan di
Indonesia. Hal tersebut diharapkan akan sedikit membantu dan membuka wawasan
mengenai betapa pentingnya kelestarian lingkungan bagi kelangsungan hidup setiap
makluk, serta apa saja dan sejauh mana peran serta masyarakat terhadap hal tersebut.
Sepenuhnya penulis menyadari kiranya masih terdapat kekurang sempurnaan
dalam tulisan ini baik dari segi metode penulisan maupun susunan kata, semoga mampu
menjadi sebuah bahan pelajaran.
Yogyakarta, November 2007


PENULIS

DAFTAR ISI

PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Landasan Hukum 2
B. Analisis 3
BAB III PENUTUP 8
A. Kesimpulan & Saran 8
DAFTAR PUSTAKA 11


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

semakin memburuknya kondisi kelestarian lingkungan jelas akan mempengaruhi
kelangsungan ekosistem yang ada di dalamnya, tidak dapat di pungkiri lagi, salah satu
penyebab kerusakan lingkungan di akibatkan oleh ulah manusia itu sendiri yang yang
merupakan bagian dari ekosistem tersebut dan semestinya memelihara kelestarian
lingkungan, karena kualitas hidup manusia jelas akan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan di sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
berbagai masalah lingkungan yang membutuhkan penanganan yang segera
mengingat kenyataan dilapangan kondisi lingkungan kita semakin memburuk.
berbagai persoalanya diantranya yaitu :
 kondisi lingkungan yang terjadi saat ini
 upaya penanggulangan kerusakan lingkungan
 peran masyarakat dan pemerintah dalam upaya pelestarian lingkungan
 dampak terhadap kerusakan lingkungan yang akan timbul baik secara jangka
panjang maupun jangka pendek.
 hal apa saja yang menjadi hambatan dalam pemeliharaan kelestarian lingkungan
hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Hukum
Lingkungan hidup merupakan salah satu bagian dari anugrah Tuhan yang sudah
semestinya kita jaga kelestarianya, hal tersebut selain merupakan keharusan sebagai
bentuk penghargaan terhadap ciptaan Tuhan juga tertuang dalam pasal 6 ayat ( 1 )
Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ; “
setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menaggulangi pencemaran dan perusakan “ .
Pengaturan mengenai kesehatan dan kelestarian lingkungan juga tersirat dalam pasal 22
ayat ( 1 ) Undang – Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ; “ kesehatan
lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat “,
sedangkan didalam menentukan apa dan bagaimana kriteria mengenai kerusakan
lingkungan hal tersebut di atur dalam Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
yang memberi dasar kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, merupakan alas hukum
pemerintah dalam menentukan kebijakan – kebijakan yang berkaitan dengan pelstarian
lingkungan sehingga Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan
lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid).
B. Analisis
Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu aset utama untuk
mendukung terciptanya tujuan utama pembangunan. Telah dipahami bersama bahwa
ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup yang baik akan
mendukung kesinambungan pembangunan pada saat ini dan di masa yang akan datang.
“ untuk menikmati masa depan bangsa dan Negara secara gemilang tidak akan kita
berikan peluang sejengkalpun timbulnya dampak (negatif) bagi lingkungan hidup dan tata
lingkungan maka itu perlu sekali diwaspadai terhadap apa yang mungkin terjadi dan
untuk itulah harus di utamakan apa yang perlu dan harus sejak dini dikerjakan demi masa
depan bangsa “. ( kapita selecta HTN, hal : 92 )
Manusia hidup dari unsur – unsur lingkungan hidupnya ; udara untuk
pernafasanya, air untuk minum, keperluan rumah tangga dan keperluan lainya, tumbuhan
dan hwan untuk makanan, tenaga dan kesenagan, serta lahan untuk tempat tiggal
sehingga masa depan suatu ekosistem ditentukan oleh bagaimana kondisi lingkungan
secara kedepan artinya keadaan lingkungan yang semakin memburuk akan memberi
dampak negative terhadap kualitas kehidupan baik dari aspek sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan energi. Dimulai dari hal tersebut manusia yang dinilai sebagai makluk
yang mampu melaksanakan amanat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup
mengemban tugas besar dalam hal pencegahan dan pelestarianya. Dampak daripada
kerusakan lingkungan kini sudah mulai dirasakan diantaranya Seperti terjadinya
peningkatan suhu udara, permukaan air laut naik, yang bisa menenggelamkan pulaupulau
kecil, dan daratan di sekitar pantai, terjadinya perubahan iklim, yang kini sudah
terjadi di beberapa tempat termasuk di beberapa wilayah dinegeri ini. Kesemua itu karena
lingkungan tempat manusia dan mahluk hidup lainnya sudah tercemar.
Di Indonesia sendiri, memasuki awal hingga pertengahan tahun ini telah terjadi angin
badai di beberapa perairan yang mengakibatkan banjir di daerah sekitar pantai hingga
berhari-hari. Akibatnya para nelayan tidak bisa turun ke laut untuk mencari ikan,
sehingga mereka mengalami masa-masa paceklik.
Satu demi satu dampak negatif dari semakin parahnya kerusakan lingkungan
hidup sudah mulai dirasakan dan terlihat secara kasat mata, terlepas dari sebagian
masyarakat menyadari hal tersebut atu tidak tetapi setidaknya kita dapat melihat seperti
yang terjadi di lapangan salah satunya di jalan raya dengan udaranya yang sangat ditak
bersahabat.
kita tidak bisa menyangkal bahwa penyumbang terbesar kerusakan lingkungan hidup
secara menyeluruh, adalah polusi udara, kita ambil contoh misalnya untuk daerah
istimewa yogyakarta saat ini apabila kita melewati jalan raya ganasnya polusi udara di
jalanan yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor khususnya yang berbahan bakar
solar hal tersebut tentunya sangat merugikan untuk jangka panjang tetapi meskipun
demikian kita tidak dapat menuding hanya satu faktor penyebab saja memngingat
kerusakan lingkungan hidup merupakan persoalan yang komplek artinya masih banyak
hal – hal yang menjadi penyebab rusaknya lingkungan.
Selain itu, kerusakan lingkungan telah mengakibatkan kerugian ekonomis buat
masyarakat Indonesia. Sumber daya alam sedikit demi sedikit mengalami penurunan baik
itu dari segi kuantitas sampai kualitasnya. Hal ini jelas tidak menguntungkan masyarakat
yang menggantungkan diri dari mengolah sumber alam, baik itu secara langsung maupun
tidak langsung. Kesuburan tanah makin menurun, hama makin kebal pestisida, ikan di
sungai dan laut makin berkurang, bahkan beberapa jenis hampir punah.
Berbagi masalah lingkungan tersebut tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-
Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang
mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya sebagai bagian
dari mata rantai pengaturan pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan
lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan
lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan
dapat dicapai agar ditaati masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan
semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan
lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah
lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara serta hukum
internasional. Untuk lebih mengefektifkan upaya pencegahan lingkungan hidup,
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) akan menempuh upaya peningkatan kesadaran,
kepedulian dan peran serta masyarakat dalam upaya mencegah dan memperbaiki
kerusakan lingkungan.
Namun mengingat persoalan lingkunga hidup merupakan masalah bersama
sehingga hal tersebut tidak dapat dilakukan penaganan secara sepihak, artinya meskipun
pemerintah telah melakukan berbagai upaya melaui beberapa kebijakanya hal tersebut
tidak akan berjalan tanpa adanya peran serta dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
kelestarian lingkungan, peran aktif masyarakat sangatlah menentukan terlaksananya
tujuan pemerintah dalam menanggulangi dampak kerusakan lingkungan.
Berdirinya pabrik – pabrik dan badan hukum sudah seestinya mendapatkan
perhatian khusus dari masyarakat, mulai pada saat pabrik atau badan hukum itu akan
berdiri masyarakat harus memiliki keberanian untuk menganalisa secara mendasar
tentang dampak yang akan timbul secara langsung maupun tidak langsung.
hal tersebut di maksudkan agar apabila di kemudian hari terjadi hal – hal yang dapat
menimbulkan kerugian terhadap masyarakat maka akan lebih mudah melakukan proses
hukum guna meminta pertanggungjawaban terhadap yang bersangkutan.
Dalam menjaga kelestarian lingkungan bukan berarti tidak terdapat hambatan,
adapun berbagai hal yang menjadi penghambat dalam proses pelestarian lingkungan
adalah ;
1. kebutuhan ekonomis
2. perkembangan teknologi
3. lemahnya pengawasan baik dari masyarakat maupun pemerintah
4. tuntutan perkembangan jaman, dll.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN dan SARAN
Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan
pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap lingkungan
alam dan lingkungan sosial.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu aset utama untuk
mendukung terciptanya tujuan utama pembangunan. Telah dipahami bersama bahwa
ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup yang baik akan
mendukung kesinambungan pembangunan pada saat ini dan di masa yang akan datang.
Beberapa permasalahan pokok dalam pengelolaan lingkungan hidup antara lain
mencakup rendahnya pemahaman akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara berkesinambungan dan disertai lemahnya penegakan hukum
telah membawa dampak buruk bagi upaya pembangunan sumber daya alam serta
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Hal ini antara lain ditandai oleh tingginya
tingkat kerusakan hutan maraknya pencurian hasil hutan, terutama kayu, serta pencurian
hasil laut yang mengancam keberlanjutan dan kelestarian sumber daya laut terutama
berbagai jenis ikan, terumbu karang dan biota laut lainnya.
Permasalahan pokok lain yang masih dihadapi adalah berkaitan dengan masih
tingginya tingkat pencemaran lingkungan hidup akibat belum dipatuhinya beberapa
peraturan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Di antaranya masalah
masih tingginya pencemaran sungai dan laut oleh limbah industri dan rumah tangga,
pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor di perkotaan, serta belum
optimalnya pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Selain itu untuk
mengurangi biaya lingkungan, perlu diprioritaskannya upaya minimasi limbah melalui
produksi bersih dan daur ulang.
Di bidang sumber daya mineral, maraknya penambangan liar yang tidak
memperhatikan aspek pelestarian fungsi lingkungan masih banyak terjadi. Rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan pengusahaan sumber daya alam
hutan dan tambang,
Selanjutnya, permasalahan lain adalah menyangkut: masih kurang optimalnya
upaya untuk meningkatkan pengakuan atas hak kepemilikan, kemitraan dan akses
masyarakat adat dan lokal dalam pola pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan hidup, sehingga perlu dipercepat dan disempurnakan mekanisme
pelaksanaannya.
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalan proses pengelolaan lingkungan hidup dalah ;
Mengembangkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah perdesaan
dan perkotaan, Menegakkan hukum yang tegas dan konsisten dalam kasus pelanggaran
ketentuan AMDAL dan perusakan SDA, Membentuk pola kemitraan dengan masyarakat
lokal dalam monitoring pengelolaan SDA dan pengendalian kualitas lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan yang disebakan oleh emisi gas buang sepertinya masih
menduduki posisi tertinggi sebagi salah satu dari penyebab dari rusaknya lingkungan
yang mengakibatkan pencemaran udara, sehingga penulis berpendapat pemerintah
khususnya tiap daerah perlu meninjau kembali secara lebih mendalam mengenai hal
tersebut melalui pemeriksaan secara berkala kadar emisi gas buang terhadap kendaraan
bermotor serta mengganti alat transportasi umum yang setidaknya dapat mengurangi atau
menurunkan tingkat pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang, saya akan ambil
satu contoh misalnya untuk wilayah DIY saja nampaknya semakin hari polusi udara
semakin memburuk, hal tersebut justru ditanggapi oleh pemerintah jogja dengan
mengeluarkan kebujakan mengenai larangan merokok di beberapa tempat umum yang
menurut saya tidak sepenuhnya tepat, lain halnya apabila dilakukan penggantian
angkutan umum ( bis kota ) dengan kendaraan yang berbahan baker bensin, seperti
misalnya COLT. Hal tersebut sepertinya lebih efisien dibandingkan bus kota yang
berbahan baker solar, selain itu kendaraan tersebut lebih berukuran kecil sehingga
mampu menjangkau wilayah – wilayah terpencil di jogja.
Salah satu hal lain yang tidak kalah penting yang menjadi penyebab kerusakan
lingkungan adalah masuknya proyek – proyek besar dari sebuah perusahaan yang
memanfaatkan lahan – lahan masyarakat di wilayah pedesaan yang tidak diikuti oleh
sikap kritis masyarakat, seperti yang terjadi da salah satu desa di kabupaten musi rawas,
Sumatra Selatan, misalnya sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan
akasia, bekerja sama dengan masyarakat sekitar untuk menanami lahan – lahan milik
warga dengan pohon akasia tersebut kemudian satelah beberapa tahun dan dilakukan
panen atau penebangan pohon, maka masyarakat akan memperoleh uang dari perusahaan
tersebut.
Dari hal tersebut jelas sekali sangat merugikan, pada awalnya penanaman pohon
akasia dengan jumlah yang besar akan berdampak dikemudian hari pada saat dilakukanya
penebangan dari situ jelas hubungan antara perusahaan tersebut dengan masyarakat
tersebut telah berakhir, artinya setelah masa penebangan maka maka perusahaan tidak
melakukan penanaman lagi sehingga banyak lahan – lahan gundul.dari hal tersebut
sehrusnya masyarakat lebih kritis, dengan tidak hanya ber orientasi pada keuntungan
materi saja namun lebih melihat dampak terhadap lingkungan secara jangka panjang.
☺☺☺
DAFTAR PUSTAKA
1. Daud Busroh Abu. 1994. Kapita Selecta Hukum Tata Negara. Jakarta.
Rineka Cipta
2. Kansil CST., Drs.SH.1991. Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia.
Jakarta. Rineka Cipta
3. Soemarwoto otto. 1988. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Jakarta; Djambatan
4. Undang – Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH)
6. Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan
dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
kebakaran Hutan dan atau Lahan.

Wednesday, 1 August 2007

Untuk Korupsi : KUHAP Perlu Diterobos

15 Desember 2003

Dengan berlakunya KUHAP, pada prinsipnya wewenang melakukan penyelidikan perkara pidana berada di tangan Polisi. Sehingga timbul ungkapan bahwa Polisi adalah “penyidik tunggal”. Di luar Polisi memang ada penyidik lain...

KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 dan diberi gelar “karya agung” oleh Menteri Kehakiman pada waktu itu Ali Said, di dalam praktek penuntutan perkara pidana temyata bisa memberi lubang bagi terdakwa, khususnya terdakwa yang didakwa melakukan korupsi untuk lepas dari jeratan hukum.

Dengan berlakunya KUHAP, pada prinsipnya wewenang melakukan penyelidikan perkara pidana berada di tangan Polisi. Sehingga timbul ungkapan bahwa Polisi adalah “penyidik tunggal”. Di luar Polisi memang ada penyidik lain, yaitu Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (PPNS) yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan oleh suatu undang-undang. PPNS ini misalnya penyidik PPNS Bea Cukai dalam perkara pidana penyelundupan, dan penyidik PPNS ini dalam melaksanakan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polisi.

Jaksa yang semula juga mempunyai wewenang menyidik, dengan berlakunya KUHAP maka wewenang tersebut pada prinsipnya hilang. Wewenang Jaksa dibatasi hanya melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan serta penetapan Hakim.

Ketika KUHAP mulai berlaku, di samping tindak pidana yang diatur di dalam KUHP dan dikenal dengan tindak pidana umum, juga berlaku undang-undang lain yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana tertentu dan kita kenal dengan tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus ini misalnya tindak pidana korupsi (diatur di dalam UU no. 3 tahun 1971 yang dicabut dan diganti dengan UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001), tindak pidana ekonomi (diatur di dalam UU no. 7 Drt tahun 1955, sekarang sudah dicabut), dan tindak pidana subversi (diatur di dalam UU no. 1l tahun 1963, sekarang sudah dicabut).

UU tertentu yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana khusus itu mempunyai acara pidana khusus yang memberi wewenang kepada Jaksa sebagai penyelidik, penyidik di samping sebagai penuntut umum.

Landasan hukum berlakunya UU tertentu yang memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tersebut di dalam KUHAP dimuat di dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat 2. Ketentuan ini sifatnya sementara, mengingat UU tertentu tersebut akan “ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya” (penjelasan pasal 284 ayat 2 KUHAP).

Sampai saat ini, setelah KUHAP berlaku lebih dari 20 tahun, beberapa UU tertentu telah dicabut, antara lain UU Tindak Pidana Ekonomi dan UU Pemberantasan Subversi dan terakhir UU no. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru yaitu UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001, ternyata masih memberi wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara korupsi. Wewenang Jaksa di sini tidak lagi bersifat sementara, karena dengan dicabutnya UU no. 3 tahun 1971 pada tanggal 16 Agustus 1999, maka wewenang Jaksa tersebut tidak lagi terkait dengan pasal 284 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian dalam perkara korupsi terdapat dua aparat penyidik yaitu Jaksa (berdasarkan UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001) dan Polisi (berdasarkan KUHAP).

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi mempunyai persamaan unsur dengan beberapa tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHP. Hal ini nampak antara lain dari UU no. 3 tahun 1971, UU no. 31 tahun 1999, dan UU no. 20 tahun 2001 yang mengadopsi secara utuh pasal-pasal KUHP tertentu ke dalamnya. Sehingga, pasal-pasal pidana umum tersebut dikualifisir menjadi pasal-pasal korupsi, misalnya pasal 419, 420, 423, 425 KUHP dan sebagainya.

Dalam tindak pidana korupsi tertentu substansi unsur-unsurnya mempunyai persamaan dengan tindak pidana umum. Perbedaannya hanya terletak pada adanya keterkaitan dengan negara, misalnya: yang dirugikan oleh perbuatan pidana tersebut adalah negara. Dalam hubungan ini seandainya perbuatan pidana tersebut merugikan perseorangan (bukan negara), maka perbuatan pidana tersebut masuk dalam kualifikasi pidana umum, bukan tindak pidana korupsi.

Contohnya adalah seseorang membuat kwitansi palsu dan dengan kwitansi palsu tersebut ia berhasil menarik uang dari suatu kantor pemerintah. Kasus seperti ini merupakan perbuatan memalsukan surat sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 263 ayat 1 KUHP. Tetapi karena yang dirugikan adalah kantor pemerintah, maka perbuatan tersebut dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi oleh pasal 2 UU no. 31 tahun 1999. Jadi, sebelum adanya UU Korupsi yang pertama yaitu UU no. 24 Prp tahun 1960, kasus tersebut di atas merupakan tindak pidana umum dengan kualifikasi kejahatan.

Tindak pidana korupsi pada umumnya dipahami sebagai tindak pidana khusus dan diatur di dalam UU pidana khusus atau lex specialis (bijzondere wet), sedangkan tindak pidana umum yang diatur di dalam KUHP difahami sebagai lex generalis (algemene wet). Dalam perkembangannya, saat ini lahir berbagai UU yang memuat perbuatan­perbuatan yang dikualifisir sebagai tindak pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur spesifik yang tidak dikenal oleh KUHP. Contohnya adalah perbuatan-perbuatan yang dikualifisir sebagai tindak pidana dalam UU no. 7 tahun 1992 jo UU no. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

Perbuatan seperti contoh di atas dapat dikualifisir sebagai tindak pidana khusus karena diatur dalam UU khusus atau lex specialis. Namun karena tidak mempunyai acara pidana yang khusus sebagaimana dimaksud oleh pasal 284 ayat 2 KUHAP maka wewenang penyidikan dilakukan oleh Polisi. Mengacu kepada KUHAP, maka penanganan atas perkara korupsi yang dilakukan oleh penyidik Jaksa dan penyidik Polri dapat membuahkan hasil yang berbeda.

Contohnya adalah dalam kasus BLBI di mana terjadi pelanggaran terhadap UU Perbankan yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Kalau kasus itu disidik oleh Jaksa maka Jaksa akan mengkontruksikan pelanggaran terhadap UU Perbankan sebagai perbuatan “melawan hukum” dikaitkan dengan pasal 2 UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001. Hal ini akan membawa dampak bagi Jaksa dalam menyusun surat dakwaan, yaitu Jaksa hanya dapat menyusun dakwaan pelanggaran terhadap UU Korupsi.

Sedangkan jika kasus itu disidik oleh Polisi, maka Polisi dapat memasukkan dalam berkas perkara 2 (dua) sangkaan, yaitu pelanggaran terhadap UU Korupsi dan atau pelanggaran terhadap UU Perbankan. Sehingga dalam tahap penuntutan Jaksa dapat membuat surat dakwaan dengan dua pelanggaran secara kumulatif maupun alternatif, yaitu pelanggaran terhadap terhadap UU Korupsi dan atau pelanggaran terhadap UU Perbankan. Praktek seperti tersebut di atas terjadi sebagai konsekwensi dari wewenang Polisi yang berdasarkan KUHAP dapat melakukan penyidikan baik terhadap perkara korupsi maupun tindak lainnya baik yang diatur di dalam KUHP maupun di dalam lex specialis (seperti perkara pelanggaran UU Perbankan tersebut).

Sedangkan wewenang Jaksa hanya terbatas pada melakukan penyidikan perkara korupsi. Pada perkembangan selanjutnya, pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 memerintahkan terbentuknya UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.

Seperti telah dikemukakan dalam contoh di atas, dalam suatu perkara korupsi kemungkinan terkait atau terkandung di dalamnya tindak pidana lain (misal: adanya pemalsuan surat atau pelanggaran terhadap suatu lex specialis), sehingga seharusnya semua tindak pidana yang terjadi bisa disidik dan dituntut sekaligus bersama-sama. Kalau wewenang untuk menangani kasus seperti ini tidak dipunyai oleh Komisi, maka efektivitas Komisi akan tidak optimal, sebagaimana yang dialami oleh Jaksa dalam memberantas korupsi secara represif.

Komisi tersebut perlu diberi wewenang yang luas dalam arti mempunyai wewenang menangani perkara korupsi maupun perkara lain yang terkait dengan suatu perkara korupsi sekaligus baik dalam penyidikan maupun dalam penuntutan. Wewenang luas yang “menerobos” KUHAP perlu diberikan kepada Komisi untuk menghadapi korupsi sebagai extra ordinary crime dengan modus operandi yang beraneka ragam dan complicated. Jika kita bersikap selalu mengacu kepada KUHAP dan tidak berani mengambil terobosan dalam menghadapi korupsi, mudah diduga bahwa Komisi tidak akan mencapai keberhasilan dan kegunaan sebagaimana diharapkan. Atau dengan kata lain Komisi akan menjadi senjata tumpul.
[Suhadibroto]
sumber : http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=40

BAB XVI

PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Cepat
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

Pasal 205

(1) Yang diperiksa rnenurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancamdengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak- banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.

Pasal 206

Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

Pasal 207

(I) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggaI, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.

b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga.

(2) a. Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua perkara yang diterimanya.

b. Dalam buku register dimuat nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.

Pasal 208

Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.

Pasal 209


(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan seIanjutnya oleh panitera dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.

(2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.

Pasal 210

Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini. Paragraf 2 Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan

Pasal 211

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.

Pasal 212

Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.

Pasal 213

Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.

Pasal 214

(I) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.

(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.

(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.

(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan

(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.

(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.

(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara.

(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.

Pasal 215

Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.

sumber ; http://www.polri.go.id/yan/gakum/bab16_6.php

Saturday, 28 July 2007

Putusan Sela

Putusan sela yang dimaksud disini sesuai dengan pengertian putusan sela dimaksud dalam pasal 185 HIR yang menentukan bahwa: (1) Keputusan yang bukan akhir, walaupun harus diucapkan dalam persidangan seperti halnya putusan akhir, tidak dibuat sendiri-sendiri, akan tetapi termasuk dalam berita acara persidangan.

Sesuai dengan bunyi UU No. 30 tahun 1999, putusan sela arbitrase, meliputi Provisi dan Putusan Insidentil.

Sedang yang dimaksud dengan putusan sela Provisi; tidak diatur dengan jelas dalam UU No. 30 tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut hanya ada keterangan bahwa atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya…………dstnya……….. .

Dalam HIR sendiri, tidak mengatur tentang provisi ini, sehingga apabila kita lihat dalam praktek di pengadilan, provisi itu sebagai suatu keputusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau majelis arbitrase, terhadap sesuatu hal yang ada hubungannya dengan pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan kemudahan dalam penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir.

Sebagai contoh adalah permohonan dari penuntut agar pembangunan sebuah bangunan dihentikan dulu sampai perkara pokok tentang sengketa kepemilikannya dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak menambah permasalahan kelak pada saat putusan akhir diajuhkan dan dilaksanakannya putusan tersebut.

Sedang putusan provisonil tersebut dijalankan lebih dahulu sebelum diputusnya sengketa mengenai pokok perkara dalam putusan akhir.

Putusan Sela sebagai putusan insidentil oleh UU No. 30 tahun 1999 hanya memberi penjelasan dalam pasal 30 yang berbunyi: 'Pihak ke tiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersangkutan, serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.

Apabila ketentuan pasal 30 UU No.30 tahun 1999 tersebut dibandingkan dengan praktek di Pengadilan Negeri, terdapat hal-hal yang tidak pas bahkan rancu.

Sebagaimana diketahui, pihak ketiga yang di luar perjanjian arbitrase dimaksud, dapat menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa ada 3 macam:

1. Vrijwaring
2. Tussenkomst
3. Voeging

Dalam vrijwaring, pihak ketiga tersebut masuk atas permintaan termohon guna melindungi kepentingan pihak yang dituntut. Dalam Tussenkomst, masuknya pihak ketiga tersebut adalah untuk membela kepentingan dirinya sendiri, oleh itu sangat tipis kemungkinan kehadirannya dalam proses dapat disepakati oleh para pihak. Sedangkan dalam Voeging, masuknya pihak ketiga di sini adalah untuk membela kepentingan salah satu pihak, baik pemohon maupun pihak termohon, semata-mata atas kemauan sendiri pihak ketiga tersebut.

Oleh karena hal-hal sebagaimana telah dijelaskan tersebut, maka baik dalam vrijwaring maupun tussenkomst ataupun pada voeging, dapat dimengerti apabila kedua belah pihak, baik pemohon ataupun termohon sulit untuk dapat sepakat menerimanya dengan mudah.

Kesepakatan kedua belah pihak dalam pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 merupakan persyaratan dalam menerima kehadiran pihak ketiga tersebut dalam proses penyelesaian sengketa, padahal persyaratan seperti itu tidak dianut dalam praktek di Pengadilan Negeri, sehingga dengan demikian dapat diprediksikan penerapan pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 dalam praktek sulit untuk dilaksanakan dalam praktek.

Ad. 2. Putusan Akhir

Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan, di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula. Putusan mana telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan.

Yang perlu dijaga dalam putusan akhir ini adalah apakah putusan tersebut sudah memenuhi bunyi pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.Yaitu apakah sudah ada klausula arbitrase, apakah klausula arbitrase tersebut telah dimuat dalam dokumen yang telah diterima oleh kedua belah pihak. Dan dalam hal pembuatan klausula arbitrase tersebut dibuat dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman telegram, faximile, e-meil atau dalam bentuk sarana komonikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. (pasal 4).

Di samping itu harus pula diperhatikan apakah sengketa yang ditangani tersebut apakah sengketa di bidang perdagangan dan apakah hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, dikuasai sepenuhnya pihak-pihak yang bersengketa. Juga harus diperhatikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa-sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5).

Sesuai bunyi pasal 26 ayat (3) apabila putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, kedua Pengadilan Negeri menolak dilaksanakannya putusan arbitrase dimaksud. Dan tidak terbuka upaya hukum apapun terhadap penolakan tersebut.

Ad. 3. Putusan Perdamaian

Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tida didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat tercapai atas prakarasa arbiter maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri persengketaan antara pihak-pihak dan mengikat untuk para pihak, bersifat final dan mempunyai daya kekuatan eksekutorial.

Putusan perdamaian ini oleh karena sudah final dapat dianggap sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Oleh karena putusan perdamaian ini juga tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (2) jo pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), maka ketentuan pasal 4 dan pasal 5 harus diperhatikan di dalam putusan perdamaian ini.

Ad. 4. Putusan Verstek.

Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majeli arbitrase di luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan, berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasar hukum. Putusan mana bersifat final dan mempunyai daya kekuata eksekutorial.

Adapun putusan verstek dalam arbitrase berbeda sifatnya dengan putusan verstek menurut HIR di Pengadilan, oleh karena pada arbitrase, tidak terbuka kesempatan untuk verzet, sedang dalam hukum acara di pengadilan diberi kesempatan verzet (perlawanan). Dan apabila dikaitkan dengan pelaksanaan putusan oleh ketua Pengadilan, juga putusan ini tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3)

source : http://www.bapmi.org/in/ref_articles3.php

Sunday, 15 July 2007

tentang jabatan notaris

N o t a r i s

Dasar Pengangkatan
Dasar pengangkatan sebagai Notaris adalah Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tertanggal 23 Nopember 1998 nomor C-537.HT.03.01-Th.1998 tentang Pengangkatan Notaris.

Pengertian

Definisi Notaris
Berdasarkan bunyi pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 Nomor 3) bahwa yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Sedangkan yang dimaksud dengan Akta Otentik sebagaimana yang diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu akta yang sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuat.

Tugas dan Pekerjaan serta Wewenang Notaris
Tugas dan pekerjaan dari Notaris pada umumnya meliputi:

1. membuat akta-akta otentik;
2. mengesahkan surat-surat di bawah tangan (legaliseren);
3. mendaftarkan surat-surat di bawah tangan (waarmerken);
4. memberikan nasihat hukum dan penjelasan mengenai Undang-Undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Wewenang Notaris adalah bersifat umum (regel) dan meliputi empat hal, yakni:

1. sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya itu;
2. sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;
3. sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat;
4. sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Profesi Penunjang Pasar Modal (Notaris)
Di dalam point 1 dari Peraturan VIII.D.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-37/PM/1996 tertanggal 17 Januari 1996 tentang Pendaftaran Notaris Yang Melakukan Kegiatan Di Pasar Modal telah diatur bahwa Notaris yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

Berdasarkan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal Nomor: 731/PM/STTD-N/2005 tertanggal 15 Februari 2005, kami telah terdaftar di Bapepam selaku Notaris yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal.

Notaris Pembuat Akta Koperasi
Di dalam Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia tertanggal 24 September 2004 nomor: 98/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi, telah diatur bahwa Notaris yang melakukan kegiatan pembuatan akta di bidang Koperasi wajib terlebih dahulu terdaftar di Kementerian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menegah Republik Indonesia dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Keputusan tersebut.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia tertanggal 23 September 2005 nomor: 86/Kep/M.KUKM/IX/2005 tentang Penetapan Notaris Pembuat Akta Koperasi, kami telah diangkat dan ditetapkan oleh Kementerian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menegah Republik Indonesia sebagai Notaris Pembuat Akta Koperasi.

Notaris Bank Syariah
Kami telah berwenang membuat akta-akta yang berkaitan dengan transaksi-transaksi yang dilakukan di Bank Syariah karena telah mengikuti pendidikan dan pelatihan "Aspek Legal Bank Syariah" yang diselenggarkan oleh penyelenggara yang telah diakui oleh Bank Indonesia berdasarkan Sertipikat tertanggal 3 Desember 2005 nomor: ALBS200512115.

Pejabat Pembuat Akta Tanah

Dasar Pengangkatan
Dasar pengangkatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 2 Juni 1998 nomor 8-XI-1998 tentang Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dan Penunjukan Daerah Kerjanya.
Pengertian

Definisi P.P.A.T.
Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah bahwa yang dimaksud dengan P.P.A.T. atau Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Tugas Pokok Dan Kewenangan P.P.A.T.
Pejabat Pembuat Akta Tanah bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu (pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998).

Perbuatan hukum yang dimaksudkan diatas adalah sebagai berikut (pasal 2 ayat 2 dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998):

1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. pembagian hak bersama;
6. pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7. pemberian Hak Tanggungan;
8. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

sumber ;http://kalamliano.bizhosting.com/indonesian.html

PENDAFTARAN PERTAMA KALI KONVERSI, PEMBERIAN HAK TANAH

Persyaratan:

1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku).
3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu:
1. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau
2. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau
3. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA,yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau
4. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau
5. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
6. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
7. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau
8. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
9. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau
10. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
11. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA
12. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum diberlakunya UUPA.
4. Surat Pernyataan Tidak Dalam Sengketa diketahui Kades/Lurah dan 2 Saksi dari tetua adat/penduduk setempat.
5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan

sumber; http://www.bpn.go.id/index.html?q=layanan/pertanahan/51