MaPPI FHUI
          07 Dec 2005, 15:58:02 WIB -         pemantauperadilan.com
              
                       Ganti  kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki  perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih  sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti  kerugian yang akan dibicarakan dalam talkshow kali ini adalah ganti kerugian  dalam hukum pidana.   Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti  kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu  pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan  penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh  tergugat terjadi.  Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi  tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan  kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan  uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang  diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian  idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah  yang pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota  tubuh Sebagai contoh  A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu  meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut (kerugian  materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia pakai  untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan menjual novel  tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).                Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos  atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu  tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2  perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan  terdakwa.            Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak  mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu  adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat  mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan  atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti  kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya,  dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan  ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa  mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan  sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP  27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah  tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.  Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika  penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan  diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut  memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum)  atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai  orangnya atau hukum yang diterapkan. Sebagai contoh adalah kasus Baasyir.  Baasyir  menuntut ganti kerugian atas tindakan terhadap dirinya yang diambil  paksa oleh aparat pada saat dirinya dirawat di rumah sakit. Pada kenyataannya  Ba’asyir memang  mengajukan praperadilan dan ganti kerugian atas tindakan itu,  karena tindakan yang dilakukan oleh aparat dalam melakukan penangkapan dan  penahanannya itu menurut Ba’asyir dan penasehat hukumnya tidak sah.   Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan  atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum  pengadilan dimulai).  Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti  kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan  jumlah  maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal   Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat penegak  hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).  Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun  penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita  mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP,  acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan  permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang,  3 hari setelah saya  mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.  Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang   dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah  menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan  tersebut.  Jika  terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam  jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam  jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus  menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah  ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu  menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada  prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda    misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain.  Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah  sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar  jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.   Setelah penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan  berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah  sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara  tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q.  sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri  keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada  surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si  terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor  perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya  terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur  adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan  sampai 1 tahun.  Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara  lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta  melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan  permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal 1  juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu  maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui  praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara  prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN  yang memeriksa perkara atau kasus tersebut.   Dasar hukum adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat  (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan  di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang  lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk  menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian  karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas  perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang  mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan atau  kekerasan yang dilakukan secara  bersama-sama) atau misalnya pelanggaran  terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau  kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan  kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan,  pembunuhan. Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan  korban tersebut mendapatkan kerugian.  Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana.  Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut.  Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata,  namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian  digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya  terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.  Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit,  maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban  mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka  gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan tidak   bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh banyak  orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang  menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan  hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan.   Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan  suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP  memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan  ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat  perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat.  Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses  pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum mengajukan  tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri  melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan  ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi. Dalam  persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas,  pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana  persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban dapat mengajukan  permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim memutus perkara  tersebut.   Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian  dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana   dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan  Menteri Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun  tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti  kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN  memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana  tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang  bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan.  Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim  dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang  tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah  jaksa. Namun dalam  perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana  dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi  dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita.  Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh  korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan  hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan  sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang  dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat  mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan  pidananya,  korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim  memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah  untuk mengajukan secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis  in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan  secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara perdata.  Sebagai contoh, misalnya terjadi pembunuhan dimana korban meninggal dunia,  kemudian  terdakwa membayar ganti kerugian kepada keluarga korban dengan akta  yang disahkan oleh notaris. Pembayaran ganti kerugian seperti itu tidak  membatalkan kasus pidananya. Jadi pembayaran ganti kerugian secara sukarela dari  terdakwa untuk korbannya itu tidak menghapuskan perkara pidananya untuk  perbuatan dia. Mengenai apakah si korban bisa lagi meminta ganti kerugian maka  hal itu tergantung pada isi dari akta notaris tersebut.   Apabila dari pihak korban ngga sesuai dengan permintaannya dia itu tergantung  dengan terdakwa atau terpidananya. Kalau misalnya terpidananya mengajukan  banding. Misalnya terpidananya diputus bersalah dan harus membayar ganti  kerugian, lalu terpidananya mengajukan banding atas kasus itu, maka ganti  kerugian itu juga bisa dimintakan banding. Kalau misalnya terpidananya tidak  mengajukan banding, dia sudah langsung di pengadilan negeri selesai dan putusan  tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap maka korban tidak bisa meminta banding  karena permohonan ganti kerugian ini mengikuti perkara pidana. Perkara pidana  selesai maka permohonan ganti kerugian juga selesai.  Pengertian rehabilitasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pemulihan  kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau semula. Pasal 9 UU No.14 tahun  1970 itu tentang kekuasaan kehakiman mengatakan bahwa seseorang yang ditangkap,  ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU, atau karena  kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti  kerugian dan rehabilitasi. Pengertian rehabilitasi dalam UU ini adalah pemulihan  hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan.  Kemudian menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP rehabilitasi adalah hak seseorang untuk  mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta  martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan  karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU  atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara  yang diatur dalam UU ini. Rehabilitasi mengikuti ganti kerugian. Artinya  praperadilan dilakukan karena permohonan ganti kerugian, karena aparat salah  melakukan penangkapan, atau tidak sesuai dengan hukum dan sebagainya dan setelah  itu (setelah praperadilannya dikabulkan oleh hakim) maka yang bersangkutan bisa  meminta rehabilitasi agar nama baiknya dipulihkan kembali.  Pihak-pihak yang berhak mengajukan rehabilitasi itu adalah pihak yang diputus  bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai  kekuatan hukum yang tetap. Misalnya seseorang diadili, kemudian diputuskan bebas  atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka dia itu berhak memperoleh  rehabilitasi atas pemulihan nama baiknya.   Perbedaan antara rehabilitasi dengan pencemaran nama baik adalah bahwa  rehabilitasi dilakukan karena perbuatan aparat penegak hukum. Artinya si pemohon  rehabilitasi adalah tersangka, terdakwa, terpidana yang permohonan  praperadilannya dikabulkan (ada campur tangan aparat) karena rehablitasi itu  adalah hak yang diberikan oleh KUHAP kepada tersangka atau terdakwa.  Rehabilitasi lebih kepada hal yang tidak berhubungan dengan materi melainkan  hanya  menyangkut nama baik saja karena rehabilitasi adalah pemulihan hak  seseorang hak atau kemampuan seseorang dalam posisi semula. Sementara pencemaran  nama baik diatur dalam KUHP (mengenai pencemaran nama baik) adalah gugatan dari  seseorang kepada orang lain yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Jadi  tidak ada campur tangan aparat dalam hal upaya paksa.    Permintaan rehabilitasi bisa diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya.  Jadi ahli waris juga bisa mengajukan rehabilitasi. Begitu juga halnya dengan  ganti kerugian.      Delik, 9 Juni 2003  Narasumber : Diah Lestari.P.  dan Theodora YSP   (divisi riset MaPPI)
sumber; http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=243&tipe=kolom
    
No comments:
Post a Comment