Oleh Amir Syamsuddin
KITA sudah mengenal apa yang disebut peradilan sesat, yaitu kegagalan proses mencari keadilan dalam seluruh aspeknya. Ini terjadi karena peradilan gagal memproses pelaku pelanggar hukum secara tepat dan benar serta gagal menerapkan hukum sebagaimana mestinya.
Cikal bakal kegagalan peradilan ini sebagian besar dilakoni aparat penegak hukum kita yang tidak profesional. Kegagalan peradilan ini merupakan kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan yang dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness).
Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum.
KEGAGALAN penegakan hukum akibat ketidakmampuan aparat hukum, menurut pengamatan kami, karena kecenderungan aparat penegak hukum selama ini cenderung pasif dan hanya berusaha memenuhi target atasan semata ketimbang melakukan penegakan hukum secara benar sesuai hukum yang berlaku.
Dalam penegakan hukum, mereka lebih banyak memakai kacamata kuda dalam menyikapi suatu kasus hukum, baik dugaan pidana, perdata, maupun publik, dan kurang mampu menganalisis sebuah kasus secara benar sehingga tidak jarang kasus perdata dipaksa menjadi kasus pidana, atau sebuah kasus dipaksakan diberkas meski kurang bukti dan fakta pendukung.
Kegagalan penegakan hukum akibat ketidakmauan terlihat dari terjadinya proses penegakan hukum yang terkesan tidak transparan dan tidak jujur, bahkan sebuah kasus hukum membuka peluang untuk dijadikan obyek dan ladang pemerasan.
Hal seperti ini akan terjadi jika aparat penegak hukum sengaja memaksakan kasus perdata menjadi kasus pidana, bahkan disertai ancaman penahanan.
Tentu saja, masalah penahanan sering dijadikan obyek tawar-menawar antara penegakan hukum dan tersangka. Sudah begitu banyak keluhan masyarakat mengenai hasil kerja penegak hukum dari tingkat kepolisian sampai putusan pengadilan yang penuh kontroversi.
Kegagalan penegakan hukum baik karena ketidakmampuan maupun ketidakmauan ini dibarengi gejala menjamurnya calo kasus yang menawarkan pengurusan perkara. Pada level ini sudah tidak diperlukan lagi pengacara hebat untuk membela tersangka/terdakwa, tetapi cukup diatur para makelar yang menawarkan pengurusan pembebasan dari penahanan dan perkara di pengadilan. Anehnya, dalam kenyataan, mereka lebih adil daripada pengacara.
MELIHAT sepak terjang aparat penegak hukum saat ini kita perlu melakukan terobosan baru dalam upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban pejabat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim kegagalan penegakan hukum yang mereka lakukan. Polisi, Jaksa, atau hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum berdasar undang-undang, tetapi mereka juga dibebani tanggung jawab untuk menjalankan kewenangannya secara benar dan bertanggung jawab. Para korban atau masyarakat lain secara hukum dapat meminta pertanggungjawaban aparat penegakan hukum sebagai pribadi pejabat bila melakukan penyimpangan dalam proses penegakan hukum dan bertindak sewenang-wenang (willkeur) yang melanggar hak-hak asasi warga negara.
Pertanggungjawaban atas penegakan hukum tingkat pidana dapat dimintakan kepada polisi/jaksa sebagai pribadi pejabat sampai dengan jajaran di bawahnya yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebuah kasus secara ceroboh dan tidak profesional.
Fakta adanya kecerobohan dan tidak profesionalnya aparat hukum bisa dilihat dari kasus-kasus yang dipaksakan, bahkan tersangka dipaksa ditahan meski kurang bukti. Tidak jarang para tersangka yang telah disandera kemerdekaannya secara paksa itu akhirnya dilepas begitu saja setelah tidak ditemukan bukti cukup, tanpa kompensasi apa-apa.
Selama ini para korban tidak pernah melakukan pengaduan atau memasalahkannya meski sudah menderita dan kemerdekaan mereka dirampas paksa. Hal ini terjadi karena kultur masyarakat kita yang begitu besar ketakutannya pada aparat hukum sehingga mereka lebih baik memilih untuk tidak berurusan dengan yang namanya "hukum".
Apalagi bagi pengusaha-pengusaha besar meski sudah menjadi korban pemerasan aparat, mereka lebih memilih sikap kooperatif dengan aparat hukum ketimbang melakukan perlawanan. Itu sebabnya, KKN sampai saat ini tidak pernah dapat diberantas, karena tanpa sadar masyarakat sendiri ikut melestarikan sikap koruptif dan kesewenangan aparat penegakan hukum.
Selain itu, kita juga menyaksikan fakta yang tak dapat disangkal dan bukan rahasia lagi laporan masyarakat tentang suatu kejahatan, disikapi secara bisnis oleh aparat penegakan hukum. Akibatnya, bagi yang punya uang, hukum bisa dibeli, tetapi bagi yang miskin, hukum hanyalah sumber penderitaan.
JIKA kita melihat fakta adanya penegakan hukum yang keliru, aparat penegak hukum juga bisa dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas perbuatan mereka yang secara keliru merampas kemerdekaan orang lain secara paksa. Mereka juga bisa dituntut melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatan yang menjadikan sebuah kasus sebagai ladang korupsi (judicial corruption).
Karena itu ke depan, masyarakat kita tidak boleh hanya mengeluh dan ngedumel, tetapi harus berperan aktif memperbaiki kondisi yang ada. Masyarakat yang menjadi korban tindakan aparat hukum jangan segan-segan melakukan tuntutan bila hak-hak mereka dirugikan. Kini kita sudah mempunyai lembaga super bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tidak pidana korupsi, kita juga memiliki lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pers yang bisa menjadi alat kontrol di mana saja sehingga masyarakat tidak perlu lagi takut terhadap tindakan-tindakan melanggar hukum dari penguasa ataupun aparat penegak hukum.
Ada contoh menarik dari anggota masyarakat yang berani melawan sikap-sikap koruptif dan tort para penegak hukum, yaitu kasus yang terjadi tahun 1982. Sakri, seorang buruh galian, telah memenangkan perkara perdata terhadap Kepala Polri. Sakri menggugat Kepala Polri berdasar perbuatan melawan hukum (tort) berdasar Pasal 1365 KUH Perdata akibat penahanan dan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian Resor Kali Malang terhadapnya.
Hasilnya, para pengacara Sakri dapat membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dari aparat kepolisian terhadap Sakri sehingga Kepala Polri dituntut membayar ganti rugi Rp 119 juta rupiah. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta.
Meski akhirnya Mahkamah Agung RI membatalkan putusan itu, keberanian Sakri menggugat kepolisian patut dijadikan contoh bagi korban perbuatan menyimpang aparat kepolisian. Kasus Sakri merupakan tonggak sejarah atau simbol keberanian masyarakat atas penguasa di tengah kondisi dan ciri putusan peradilan yang cenderung memihak dan takut pada penguasa saat itu.
MASALAH integritas aparat penegak hukum sudah menjadi masalah legenda di Tanah Air. Tidak mudah mendapatkan aparat penegak hukum yang baik dan jujur. Masyarakat kita saat ini seharusnya disadarkan, mereka mempunyai hak untuk menuntut, baik secara perdata maupun pidana, terhadap perbuatan aparat hukum yang merugikan hak-hak asasi mereka. Mereka tidak perlu takut menghadapi sepak terjang aparat yang melanggar hukum. Hukum ini harus ditegakkan terhadap siapa pun.
Dengan adanya praktik penegakan hukum sesat sebagaimana dijelaskan di atas, sewajarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut memonitor proses kasus korban penegakan hukum sesat. Bahkan, bila perlu KPK mengambil alih kasus itu karena wewenang KPK tidak saja memberantas korupsi, tetapi juga mencegah dilakukan korupsi semacam itu.
Amir Syamsuddin Praktisi Hukum Jakarta
sumber; http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/02/opini/906274.htm
No comments:
Post a Comment