Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya (non)hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian...
Makalah dengan judul sebagaimana tersebut diatas diberikan oleh Panitia Seminar dan ditulis atas permintaan dari The Center for Presidential and Parliamentary Studies Paramadina dengan kerjasama The Partnership for Governance Reform in Indonesia. Judul tersebut terutama bertalian dengan materi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, jarang dikupas dalam buku teks hukum pidana berbahasa Indonesia, kecuali dalam buku hukum pidana berbahasa Belanda, semisal dalam “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Starftrecht oleh D. Hazewinkel – Suringa, Bewerkt door J. Remmelink”. Subtansi tersebut di atas juga jarang sekali dibahas dalam perkuliahan secara klasikal, oleh karena secara praktis jarang sekali ditemui kasus-kasus yang “celebre” bertalian dengan judul tersebut di atas. Baru akhir-akhir ini dengan adanya kasus Hutomo Mandala Putra alias Tommy (bin) Suharto, kasus grasi yang berdampingan dengan kasus Peninjauan Kembali tiba-tiba menjadi sangat menarik dan ramai dibicarakan oleh media massa terutama bertalian dengan putusan Peninjauan Kembali yang menghebohkan yang membebaskan Tommy Suharto dalam kasus PT. Goro Batara Sakti. Sebagaimana diketahui putusan Mahkamah Agung RI No.78 PK/Pid/2000 diputuskan oleh majelis Hakim Agung pada tanggal 14 September 2001 oleh Drs. H. Taufiq, S.H.,MH., Wakil Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang dengan Hakim-Hakim Agung anggota H. Soeharto, S.H dan H.German Hoediarto, S.H.
Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya (non)hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pastia atau tetap (in kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi kepada Presiden. Dengan lain perkataan grasi sesungguhnya tanpa seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya ia bukan upaya hukum. Upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Kasasi atau Putusan Peninjauan Kembali. Putusan Peninjauan Kembali inipun baru dapat diajukan oleh terdakwa kalau ada “novum” atau ada bukti baru, yang tidak pernah diajukan dan dipertimbangkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi maupun oleh terdakwa q.q advokat tersangka. Praktek dalam penyalahgunaan Kasasi dan atau Peninjauan Kembali yang acapkali bersifat tidak etis dan a-moral dan tidak akan dibicarakan di sini.
Grasi praktis dikenal dalam seluruh sistem hukum di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui, Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Jadi Grasi (dalam bahasa Latin, Gratia) adalah semacam anugrah (di Belgia disebut “genade”) dari Kepala Negara dalam rangka meringankan atau membebaskan pidana si terhukum. Bisa juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Yang menjadi problematik yang dilematis yaitu, apakah seorang Presiden wajib terikat kepada nasehat atau pertimbangan Mahkamah Agung atau dari Menteri Kehakiman.
Dari prespektif sejarah, ketika Raja memiliki kekuasaan yang pada mulanya tidak terbatas atau absolut, tetapi kemudian dibatasi, Raja menganugerahkan “Akt der Billigkeit (Jescheck, h.735; Hazewinkel-Suringa dan Remmelink, h.738) karena adagium “lex dura, sed scripta” (De wet is hard, maar zij is nu eenmaal zo gesehreven; hukum itu keras/kaku, tetapi keadaannya secara tertulis demikian). Dengan perkataan lain, Grasi berusaha melunakkan keadaan yang oleh hukum sendiri sulit untuk ditoleransi. Wewenang toleransi dengan berbagai kebijakan yang bijaksana atas dasar rasa kemanusiaan dengan berbagai pertimbangan yang bisa bersifat politis, ekonomis, sosiologi, juga secara kultural, Presiden sebagai Kepala Negara dipandang mampu untuk mengambil putusan secara bijak dalam rangka memberikan persetujuan atau menolak grasi. Presiden dianggap dapat berfungsi sebagai seorang raja Sulaiman.
Dalam era Reformasi dan dalam rangka amademen UUD 1945, grasi harus mendapatkan “pertimbangan” dari Mahkamah Agung (Pasal 14 UUD 1945 perubahan pertama). Fenomena ini memang baru dalam konstelasi politik dewasa ini setelah lebih dari tiga dekade legislatif merupakan tukang stempel eksekutif. Setelah Suharto tumbang dan Habibie diganti oleh Abdurrahman Wahid, legislatif seperti mendapatkan semangat (baru) dan manuntut agar Grasi wajib mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Apakah hal itu memang wajib demikian? Dalam UUD 1945 sebelum amandemen pertama, dalam pasal 14 hanya disebut: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Yang menjadi persoalan ialah, apakah Presiden sebagai Kepala Negara sebelum amandemen UUD 1945 pernah atau merasa perlu meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Lazimnya demikian. Andaikan Presiden sebagai Kepala Negara tidak memintakan atau memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, lalu apa konsekuensinya? Hal itu tidak jelas.
Di zaman Hindia Belanda sudah ada Gratie Regeling yang diatur dalam S. 1933 No.2 Kemudian pada tanggal 1 Juli 1950 Undang-Undang Grasi Nomor 3 diundangkan dalam LN 1950 No.40. Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan bertalian dengan Undang-Undang Grasi tersebut di atas. Dalam pasal 2 ayat 3 dinyatakan bahwa pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum ada keputusan Presiden berupa fiat pelaksanaan. Tenggang waktu pengajuan Grasi adalah 14 hari. Yang menarik yaitu bahwa dalam soal Grasi ini Mahkamah Agung meminta pertimbangan dari Jaksa Agung, kemudian Menteri Kehakiman meneruskannya semua berkas yang diterima kepada Presiden.
Sebagaimana telah disinggung di atas, kemungkinan meskipun probabilitas itu (sangat) kecil, seorang Presiden dapat saja mengambil suatu keputusan yang secara diamentral dapat bertentangan dengan segala nasehat yang diterimanya. lagipula tidaklah diatur tenggang waktu beberapa lama seorang Presiden harus mengambil keputusan. Dimana Suharto berkuasa, tenggang waktu sangat bergantung pada selera Presiden.
Kalau di Indonesia cuma dikenal satu jenis grasi, maka di belanda ada apa yang dinamakan “rechterlijk pardon” (pengampunan hakim sejak 1 Mei 1983). Dengan adanya “rechterlijk pardon” bertalian dengan kesulitan keuangan dari si terdakwa, maka tidak dibutuhkan grasi lagi.
Tahapan dari kebebasan atau ketidakterikatan non hukum yang bersifat hak prerogratif dari seorang Presiden, Grasi sesungguhnya memiliki beberapa hal yang memungkinkan seorang Presiden bertindak;
a. bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan;
b. hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu mengadili si terdakwa. Contoh yang sangat “frapant” adalah dalam kasus “celebre” Jean Calas yang mendapat kecaman pembelaan dari Voltaire, sehingga pada tahun 1765 harus “diadili” kembali untuk kemudian dibebaskan;
c. perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Suharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti;
d. kalau ada ketidakadilan yang begitu menyolok misalnya sehabis revolusi atau peperangan.
Grasi hanya dapat diberikan bila putuan pengadilan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebelum itu belum dapat dimintakan Grasi.
Keadaan yang menghebohkan terjadi ketika Grasi diajukan praktis secara hampir bersamaan dengan permohonan Kasasi dalam kasus Tommy Suharto. Padahal, seseorang yang memintakan Grasi baik secara implisit maupun secara eksplisit mengakui bahwa ia bersalah. Disinilah problematik yang tampak tidak digubris oleh para Hakim Agung yang mengadili kasus Tommy Suharto dalam kasus Peninjauan Kembali. Selebihnya saya tidak akan masuk dalam problematik itu, mengingat ruang lingkup judul tersebut di atas.
Di Belanda juga dikenal apa yang dinamakan “voorwaardelijke gratie” yang tidak dikenal di Indonesia. “Voorwaardelijke gratie” dari namanya saja bisa dijelaskan bahwa grasi yang diberikan itu mengandung syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh si pemohon Grasi. Misalnya, dalam masa percobaan, bila syarat-syarat itu dilanggar, maka Grasi dapat ditarik kembali. Juga dikenal apa yang dinamakan “collective gratie”, misalnya dengan KB 4 November 1919 dan “Staatsbladgraties”, misalnya dalam KB 29 Agustus 1923.
Dalam pasal 14 UUD 1945 yang telah diamandemen, dinyatakan:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Rumusan Pasal 14 tersebut diatas sudah begitu jelas, dengan catatan bahwa sebelum reformasi dengan mengamandemen UUD 1945, Presiden diberi kewenangan memberi Grasi dan Rehabilitasi tanpa pertimbangan Mahkamah Agung, kecuali dari Menteri Kehakiman sedangkan untuk Amnesti dan Abolisi tanpa pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Reformasi, pendulum kekuatan berayun ke arah “legislative heavy” dan saya pandang itu wajar saja, mungkin berdasarkan pengalaman legislatif sebagai tukang stempel di masa lalu. Yang menjadi problematik yaitu bagaimana bila Presiden tidak atau kurang memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dengan lain perkataan, apakah seorang Presiden harus “quote que quote” patuh pada pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam kedudukan sebagai Kepala Negara dalam konstelasi yuridis Trias Politica, hemat saya, Presiden tidak mempunyai kewajiban secara “conditio sine qua non” untuk mengikuti pertimbangan Mahkamah Agung. Secara “mutatis mutandis” juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan segala konsekuensi dan implikasi akibat politik yang tidak menyenangkan.
Dalam kasus Amnesti dan Abolisi, Presiden sebagai Kepala Negara secara “mutatis mutandis” mengalami hal yang sama, tetapi kini memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana kalau Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai bagian dari eksekutif tidak atau kurang memperhatikan saran Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam praktek di era Reformasi hal itu belum pernah terjadi. Dan mengingat betapa dominannya Dewan Perwakilan Rakyat dewasa ini, maka tentu Presiden akan dengan sungguh-sungguh memperhatikan konstelasi politik yang ada.
.Amnesti berarti ditiadakan akibat hukum dari delik tertentu atau dari sekelompok delik demi kepentingan si terdakwa, si tersangka dan mereka yang belum diadili untuk ditiadakan akibat hukum dari delik-delik yang di maksud. Dalam hal ini berlaku pula apa yang dinamakan “ante sententiam”, yaitu sebelum putusan atau vonis hakim dibacakan. Bagaimana dengan mereka yang belum tertangkap atau yang belum diketahui tetapi melakukan delik itu. Tentu saja mereka itu semua “dibebaskan”, jadi sebelum fase berlaku “ante sententiam”. Pada umumnya amnesti bertalian dengan soal politik, sehingga dapatlah difahami kalau dalam hal politik, maka Dewan Perwakilan Rakyat perlu diikutsertakan dalam soal pertimbangan. Apalagi Amnesti selalu menyangkut sekelompok orang dan demi kepentingan Bangsa dan Negara. Ketika Abdurrahman Wahid diangkat menjadi Presiden, maka ia telah meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk sejumlah orang yang sudah dan tengah diadili akibat dari pendirian rezim Suharto dan Habibie.
.Berbeda dengan Grasi dan Amnesti, maka dengan Abolisi dimaksudkan ditiadakan atau dihapus bukan saja hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang menyangkut akibat-akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti putusan hakim (vonis). Abolisi tampaknya memiliki kaitan sejarah dari sarjana hukum Romawi yang berpendirian: “Deletio, oblivio vel extinctio accusationis”, yang berarti meniadakan, melupakan dan menghapuskan soal tuduhan. Dalam hubungan ini termasuk pula “ante sententiam”.
.Berbicara tentang problematic Rehabilitasi, maka perlu dikemukakan di sini bahwa dalam KUHAP juga diatur hal Rehabilitasi, yaitu dalam pasal 97 KUHAP:
(1) Seseorang berhak memperolah rehabilitasi apabila oleh Pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segal tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak dijukan ke Pengadilan Negeri diputus oleh Hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
Kalau Rehabilitasi sudah diatur dalam KUHAP, maka apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan Rehabilitasi dalam pasal 14 ayat 1 UUD 1945. Tampaknya ketika UUD 1945 disusun, pada waktu itu dengan mengikuti pola (Hindia) Belanda, Rehabilitasi belum dikenal dalam HIR atau seperti yang ditulis oleh Hazewinkel – Suringa bewerkt door Remmelink bahwa “ons recht kent niet, althans niet in criminalibus de door de rechter te verlenen rehabilitie” (1984, h.746). Namun dengan adanya peraturan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 seolah-olah menjadi “overbodig”. Hal ini bergantung dari perspektif mana hal itu hendak dianalisis. Karena kini Rehabilitasi sudah diatur dalam KUHAP, maka Rehabilitasi yang akan diberikan oleh Presiden, mungkin bertalian dengan hal-hal yang menyangkut Grasi, Amnesti dan Abolisi, bila hal itu dipandang perlu untuk merehabilitasi mereka yang telah memperoleh Grasi, Amnesti, Abolisi, atau bila suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan dan di kemudian hari baru diketahui ada kekhilafan dari Pengadilan berupa “error facti” atau “error in objecto” atau “error in persona” atau “error invincibilis facti” atau “error juris” atau setelah terpidana meninggal dunia baru diketahui ada bermacam-macam “error” yang salah satunya menyangkut kasus dan posisi serta pribadi almarhum. Dalam hal yang demikian, bila Pengadilan ragu-ragu atau berkeberatan melakukan Rehabilitasi, maka sudah selayaknya bila Presiden sebagai Kepala Negara dan Bapak atau Ibu Bangsa memberikan rehabilitasi. Bagaimanapun keliru atau terlambat, keadilan harus ditegakkan dan yang bersangkutan patut direhabilitasi.
Kesimpulan.
Problematik yang masih harus dipikirkan dan ditemukan atau diciptakan doktrin hukum, yaitu bagaimana bila Presiden tidak merasa terikat dengan mekanisme atau menolak pertimbangan Mahkamah Agung. Demikian pula secara “mutatis mutandis” dengan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Waktu dan perkembangan, terutama bertalian dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta berkehidupan sosial, politik dan kultural, diharapkan dapat pada suatu waktu dirumuskan doktrin hukum jika timbul konflik oleh karena Presiden mempunyai pendirian tersendiri, yang tentu bisa juga dipengaruhi oleh kristalisasi kehidupan berbangsa, kehidupan politik hukum dan terutama kehidupan kultural.
[J.E. Sahetapy]
sumber ;
http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=16
Makalah dengan judul sebagaimana tersebut diatas diberikan oleh Panitia Seminar dan ditulis atas permintaan dari The Center for Presidential and Parliamentary Studies Paramadina dengan kerjasama The Partnership for Governance Reform in Indonesia. Judul tersebut terutama bertalian dengan materi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, jarang dikupas dalam buku teks hukum pidana berbahasa Indonesia, kecuali dalam buku hukum pidana berbahasa Belanda, semisal dalam “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Starftrecht oleh D. Hazewinkel – Suringa, Bewerkt door J. Remmelink”. Subtansi tersebut di atas juga jarang sekali dibahas dalam perkuliahan secara klasikal, oleh karena secara praktis jarang sekali ditemui kasus-kasus yang “celebre” bertalian dengan judul tersebut di atas. Baru akhir-akhir ini dengan adanya kasus Hutomo Mandala Putra alias Tommy (bin) Suharto, kasus grasi yang berdampingan dengan kasus Peninjauan Kembali tiba-tiba menjadi sangat menarik dan ramai dibicarakan oleh media massa terutama bertalian dengan putusan Peninjauan Kembali yang menghebohkan yang membebaskan Tommy Suharto dalam kasus PT. Goro Batara Sakti. Sebagaimana diketahui putusan Mahkamah Agung RI No.78 PK/Pid/2000 diputuskan oleh majelis Hakim Agung pada tanggal 14 September 2001 oleh Drs. H. Taufiq, S.H.,MH., Wakil Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang dengan Hakim-Hakim Agung anggota H. Soeharto, S.H dan H.German Hoediarto, S.H.
Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya (non)hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pastia atau tetap (in kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi kepada Presiden. Dengan lain perkataan grasi sesungguhnya tanpa seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya ia bukan upaya hukum. Upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Kasasi atau Putusan Peninjauan Kembali. Putusan Peninjauan Kembali inipun baru dapat diajukan oleh terdakwa kalau ada “novum” atau ada bukti baru, yang tidak pernah diajukan dan dipertimbangkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi maupun oleh terdakwa q.q advokat tersangka. Praktek dalam penyalahgunaan Kasasi dan atau Peninjauan Kembali yang acapkali bersifat tidak etis dan a-moral dan tidak akan dibicarakan di sini.
Grasi praktis dikenal dalam seluruh sistem hukum di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui, Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Jadi Grasi (dalam bahasa Latin, Gratia) adalah semacam anugrah (di Belgia disebut “genade”) dari Kepala Negara dalam rangka meringankan atau membebaskan pidana si terhukum. Bisa juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Yang menjadi problematik yang dilematis yaitu, apakah seorang Presiden wajib terikat kepada nasehat atau pertimbangan Mahkamah Agung atau dari Menteri Kehakiman.
Dari prespektif sejarah, ketika Raja memiliki kekuasaan yang pada mulanya tidak terbatas atau absolut, tetapi kemudian dibatasi, Raja menganugerahkan “Akt der Billigkeit (Jescheck, h.735; Hazewinkel-Suringa dan Remmelink, h.738) karena adagium “lex dura, sed scripta” (De wet is hard, maar zij is nu eenmaal zo gesehreven; hukum itu keras/kaku, tetapi keadaannya secara tertulis demikian). Dengan perkataan lain, Grasi berusaha melunakkan keadaan yang oleh hukum sendiri sulit untuk ditoleransi. Wewenang toleransi dengan berbagai kebijakan yang bijaksana atas dasar rasa kemanusiaan dengan berbagai pertimbangan yang bisa bersifat politis, ekonomis, sosiologi, juga secara kultural, Presiden sebagai Kepala Negara dipandang mampu untuk mengambil putusan secara bijak dalam rangka memberikan persetujuan atau menolak grasi. Presiden dianggap dapat berfungsi sebagai seorang raja Sulaiman.
Dalam era Reformasi dan dalam rangka amademen UUD 1945, grasi harus mendapatkan “pertimbangan” dari Mahkamah Agung (Pasal 14 UUD 1945 perubahan pertama). Fenomena ini memang baru dalam konstelasi politik dewasa ini setelah lebih dari tiga dekade legislatif merupakan tukang stempel eksekutif. Setelah Suharto tumbang dan Habibie diganti oleh Abdurrahman Wahid, legislatif seperti mendapatkan semangat (baru) dan manuntut agar Grasi wajib mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Apakah hal itu memang wajib demikian? Dalam UUD 1945 sebelum amandemen pertama, dalam pasal 14 hanya disebut: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Yang menjadi persoalan ialah, apakah Presiden sebagai Kepala Negara sebelum amandemen UUD 1945 pernah atau merasa perlu meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Lazimnya demikian. Andaikan Presiden sebagai Kepala Negara tidak memintakan atau memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, lalu apa konsekuensinya? Hal itu tidak jelas.
Di zaman Hindia Belanda sudah ada Gratie Regeling yang diatur dalam S. 1933 No.2 Kemudian pada tanggal 1 Juli 1950 Undang-Undang Grasi Nomor 3 diundangkan dalam LN 1950 No.40. Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan bertalian dengan Undang-Undang Grasi tersebut di atas. Dalam pasal 2 ayat 3 dinyatakan bahwa pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum ada keputusan Presiden berupa fiat pelaksanaan. Tenggang waktu pengajuan Grasi adalah 14 hari. Yang menarik yaitu bahwa dalam soal Grasi ini Mahkamah Agung meminta pertimbangan dari Jaksa Agung, kemudian Menteri Kehakiman meneruskannya semua berkas yang diterima kepada Presiden.
Sebagaimana telah disinggung di atas, kemungkinan meskipun probabilitas itu (sangat) kecil, seorang Presiden dapat saja mengambil suatu keputusan yang secara diamentral dapat bertentangan dengan segala nasehat yang diterimanya. lagipula tidaklah diatur tenggang waktu beberapa lama seorang Presiden harus mengambil keputusan. Dimana Suharto berkuasa, tenggang waktu sangat bergantung pada selera Presiden.
Kalau di Indonesia cuma dikenal satu jenis grasi, maka di belanda ada apa yang dinamakan “rechterlijk pardon” (pengampunan hakim sejak 1 Mei 1983). Dengan adanya “rechterlijk pardon” bertalian dengan kesulitan keuangan dari si terdakwa, maka tidak dibutuhkan grasi lagi.
Tahapan dari kebebasan atau ketidakterikatan non hukum yang bersifat hak prerogratif dari seorang Presiden, Grasi sesungguhnya memiliki beberapa hal yang memungkinkan seorang Presiden bertindak;
a. bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan;
b. hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu mengadili si terdakwa. Contoh yang sangat “frapant” adalah dalam kasus “celebre” Jean Calas yang mendapat kecaman pembelaan dari Voltaire, sehingga pada tahun 1765 harus “diadili” kembali untuk kemudian dibebaskan;
c. perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Suharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti;
d. kalau ada ketidakadilan yang begitu menyolok misalnya sehabis revolusi atau peperangan.
Grasi hanya dapat diberikan bila putuan pengadilan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebelum itu belum dapat dimintakan Grasi.
Keadaan yang menghebohkan terjadi ketika Grasi diajukan praktis secara hampir bersamaan dengan permohonan Kasasi dalam kasus Tommy Suharto. Padahal, seseorang yang memintakan Grasi baik secara implisit maupun secara eksplisit mengakui bahwa ia bersalah. Disinilah problematik yang tampak tidak digubris oleh para Hakim Agung yang mengadili kasus Tommy Suharto dalam kasus Peninjauan Kembali. Selebihnya saya tidak akan masuk dalam problematik itu, mengingat ruang lingkup judul tersebut di atas.
Di Belanda juga dikenal apa yang dinamakan “voorwaardelijke gratie” yang tidak dikenal di Indonesia. “Voorwaardelijke gratie” dari namanya saja bisa dijelaskan bahwa grasi yang diberikan itu mengandung syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh si pemohon Grasi. Misalnya, dalam masa percobaan, bila syarat-syarat itu dilanggar, maka Grasi dapat ditarik kembali. Juga dikenal apa yang dinamakan “collective gratie”, misalnya dengan KB 4 November 1919 dan “Staatsbladgraties”, misalnya dalam KB 29 Agustus 1923.
Dalam pasal 14 UUD 1945 yang telah diamandemen, dinyatakan:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Rumusan Pasal 14 tersebut diatas sudah begitu jelas, dengan catatan bahwa sebelum reformasi dengan mengamandemen UUD 1945, Presiden diberi kewenangan memberi Grasi dan Rehabilitasi tanpa pertimbangan Mahkamah Agung, kecuali dari Menteri Kehakiman sedangkan untuk Amnesti dan Abolisi tanpa pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Reformasi, pendulum kekuatan berayun ke arah “legislative heavy” dan saya pandang itu wajar saja, mungkin berdasarkan pengalaman legislatif sebagai tukang stempel di masa lalu. Yang menjadi problematik yaitu bagaimana bila Presiden tidak atau kurang memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dengan lain perkataan, apakah seorang Presiden harus “quote que quote” patuh pada pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam kedudukan sebagai Kepala Negara dalam konstelasi yuridis Trias Politica, hemat saya, Presiden tidak mempunyai kewajiban secara “conditio sine qua non” untuk mengikuti pertimbangan Mahkamah Agung. Secara “mutatis mutandis” juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan segala konsekuensi dan implikasi akibat politik yang tidak menyenangkan.
Dalam kasus Amnesti dan Abolisi, Presiden sebagai Kepala Negara secara “mutatis mutandis” mengalami hal yang sama, tetapi kini memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana kalau Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai bagian dari eksekutif tidak atau kurang memperhatikan saran Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam praktek di era Reformasi hal itu belum pernah terjadi. Dan mengingat betapa dominannya Dewan Perwakilan Rakyat dewasa ini, maka tentu Presiden akan dengan sungguh-sungguh memperhatikan konstelasi politik yang ada.
.Amnesti berarti ditiadakan akibat hukum dari delik tertentu atau dari sekelompok delik demi kepentingan si terdakwa, si tersangka dan mereka yang belum diadili untuk ditiadakan akibat hukum dari delik-delik yang di maksud. Dalam hal ini berlaku pula apa yang dinamakan “ante sententiam”, yaitu sebelum putusan atau vonis hakim dibacakan. Bagaimana dengan mereka yang belum tertangkap atau yang belum diketahui tetapi melakukan delik itu. Tentu saja mereka itu semua “dibebaskan”, jadi sebelum fase berlaku “ante sententiam”. Pada umumnya amnesti bertalian dengan soal politik, sehingga dapatlah difahami kalau dalam hal politik, maka Dewan Perwakilan Rakyat perlu diikutsertakan dalam soal pertimbangan. Apalagi Amnesti selalu menyangkut sekelompok orang dan demi kepentingan Bangsa dan Negara. Ketika Abdurrahman Wahid diangkat menjadi Presiden, maka ia telah meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk sejumlah orang yang sudah dan tengah diadili akibat dari pendirian rezim Suharto dan Habibie.
.Berbeda dengan Grasi dan Amnesti, maka dengan Abolisi dimaksudkan ditiadakan atau dihapus bukan saja hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang menyangkut akibat-akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti putusan hakim (vonis). Abolisi tampaknya memiliki kaitan sejarah dari sarjana hukum Romawi yang berpendirian: “Deletio, oblivio vel extinctio accusationis”, yang berarti meniadakan, melupakan dan menghapuskan soal tuduhan. Dalam hubungan ini termasuk pula “ante sententiam”.
.Berbicara tentang problematic Rehabilitasi, maka perlu dikemukakan di sini bahwa dalam KUHAP juga diatur hal Rehabilitasi, yaitu dalam pasal 97 KUHAP:
(1) Seseorang berhak memperolah rehabilitasi apabila oleh Pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segal tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak dijukan ke Pengadilan Negeri diputus oleh Hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
Kalau Rehabilitasi sudah diatur dalam KUHAP, maka apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan Rehabilitasi dalam pasal 14 ayat 1 UUD 1945. Tampaknya ketika UUD 1945 disusun, pada waktu itu dengan mengikuti pola (Hindia) Belanda, Rehabilitasi belum dikenal dalam HIR atau seperti yang ditulis oleh Hazewinkel – Suringa bewerkt door Remmelink bahwa “ons recht kent niet, althans niet in criminalibus de door de rechter te verlenen rehabilitie” (1984, h.746). Namun dengan adanya peraturan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 seolah-olah menjadi “overbodig”. Hal ini bergantung dari perspektif mana hal itu hendak dianalisis. Karena kini Rehabilitasi sudah diatur dalam KUHAP, maka Rehabilitasi yang akan diberikan oleh Presiden, mungkin bertalian dengan hal-hal yang menyangkut Grasi, Amnesti dan Abolisi, bila hal itu dipandang perlu untuk merehabilitasi mereka yang telah memperoleh Grasi, Amnesti, Abolisi, atau bila suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan dan di kemudian hari baru diketahui ada kekhilafan dari Pengadilan berupa “error facti” atau “error in objecto” atau “error in persona” atau “error invincibilis facti” atau “error juris” atau setelah terpidana meninggal dunia baru diketahui ada bermacam-macam “error” yang salah satunya menyangkut kasus dan posisi serta pribadi almarhum. Dalam hal yang demikian, bila Pengadilan ragu-ragu atau berkeberatan melakukan Rehabilitasi, maka sudah selayaknya bila Presiden sebagai Kepala Negara dan Bapak atau Ibu Bangsa memberikan rehabilitasi. Bagaimanapun keliru atau terlambat, keadilan harus ditegakkan dan yang bersangkutan patut direhabilitasi.
Kesimpulan.
Problematik yang masih harus dipikirkan dan ditemukan atau diciptakan doktrin hukum, yaitu bagaimana bila Presiden tidak merasa terikat dengan mekanisme atau menolak pertimbangan Mahkamah Agung. Demikian pula secara “mutatis mutandis” dengan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Waktu dan perkembangan, terutama bertalian dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta berkehidupan sosial, politik dan kultural, diharapkan dapat pada suatu waktu dirumuskan doktrin hukum jika timbul konflik oleh karena Presiden mempunyai pendirian tersendiri, yang tentu bisa juga dipengaruhi oleh kristalisasi kehidupan berbangsa, kehidupan politik hukum dan terutama kehidupan kultural.
[J.E. Sahetapy]
sumber ;
http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=16
No comments:
Post a Comment