Friday 29 June 2007

Kesalahan dalam Bentuk Kesengajaan dan Kealpaan, dan Pembagian Bentuk-Bentuk Lainya.

sumber: asas-asas hukum pidana, Bambang Poernomo.
  1. 1.Kesengajaan

Menurut sejarah dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat tidak baik, juga pernah dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan perbuatan atau diharuskan oleh undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881 yang milai berlaku 1 September1886 tidak lagi mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu (Jonkers 1946: 45).

Seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat an harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.

Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.

Teori kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan katta alin apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnaya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.

Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank (Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.

Menurt teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)bahw aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat dtujukan kepada perbuatan saja.

Dalam kehidupan sehari- hari memang seseorang yang hendak membunuh orang lain, lau menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie. De voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya, dan oleh aprof. Moeljanto,S.H untuk teori ini diikuti jalan piikiran bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu , lagi pula kehendal merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan (Prof. Moeljanto,S.H. Kuliah: 224).

3. Beberapa Jenis dan Pengertian Lain Dari Beberapa “Dolus”

Di dalam beberapa literature hokum pidana antara lain tulisan Vos (1950 : 121), Jonkers (1946 : 55) dan D. Hazewinkel Suringa (1968 : !07-108) dapat disusun beberapa jenis dan pengertian yang lain dan pengertian yang lain dari pembagian dolus, yang terdiri atas :

a. dolus generalis, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada orang banyak atau kesengajaan tidak ditujukan kepada orang banyak melainkan kepada seseorang akan tetapi untuk mencapai tujuanya diperlukan lebih banyak perbuatan yang dilakukan. Misalnya, melempar bom ditengah-tengah orang-orang berkerumun.

b. Dolus indirectus, yaittu melakukan suatu perbuatan yang dilarang undang-undang yang terbit akibat lain yang tidak dikehendaki.

Misalnya, mendorong seorang wanita hamil dari suatu tangga sehingga jatuh dengan mengakibatkan gugurnya kandungan. Bangunan dolus yang demikian ini sudah banyak tidak diikuti, seperti halnya sengaja melakukan penganiayaan tetapi akibat perbuatanya si korban menjadi mati, yang dalam peristiwa ini pembuat dituntut pasal 351 ayat 3 dan bukan oleh pasal 338 KUHP.

c. dolus determinatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada tukuan tertentu, baik terhadap pada pembuatnya maupun pada akibat perbuatanya. Apabila tujuan yang dimaksudkan hanya semata-mata dipandang sebagai objek tidaklah mempunyai arti karena tidak pernah ada.

d. Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang atau tidaka mempedulikan apa/siapa saja yang menjadi korban. Misalnya menuangkan racun kedalam mata air sungai dimana tempat itu dipakai untuk keprluan air minum bagi umum.

e. Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dari pembuat menghendaki akibat yang satu atau akibat ynag lain, jadi memilih diantara dua akibat. Misalnyasi pembuat bertujuan untuk membunuh terhadap A atau B saja, dan untuk membunuh orang sebanyak mungkin seperti terror yang disebut kesengajaan umum atau generalis;

f. Dolus premiditatus, dan dolus repentitus, yaitu yang peetama merupakan kesengajaan yang dilakukan dengan telah dipertimbangkan masak-masak lebih dahulu dalam hati yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan kesengajaan dengan sekonyong-konyong.

Perbedaan antara kedua bentuk kesengajaan itu terletak pada pemberatan pidananya.


4. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan (Dwaling)

Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancan dengan pidana oleh peraturan hokum pidana itu dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan. Mengenai dwaling ada beberapa bentuk, dan biasanya dibarengi dengan masalah hubungan antara kesengajaan dengan sifat melawan hukum,, yaitu ada tidaknya penginsyafan atas unsur melawan hukum daripada delik. Apabila menginsyafi atas sifat melawan hukum itu berdasarkan atas kesalahfahaman (dwaling) mengenai hal-hal di luar hukum pidana maka di situ tidak ada opzet (feitelijke dwaling), akan tetapi apabila kesalahfahaman itu berdasarkan atas hukum pidan maka di situlah kesalahfaman tidak mempunyai arti sama sekali untuk melepaskan diri dari tuntutan pidana (rechtsdwaling).

a. Feitelijke dwaling

Jika kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah satu unsur perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana. Misalnya : seseorang mengira dengan jalan membayar sesuatu barang sudah menjadi pemilik, dengan kemudian atas barng tersebut dipreteli sehingga tidak seperti aslinya laginya lagi padahal pemilikan itu belum sempurna karena belum ada penyerahan yang masih dibebani biaya diluar harga, disini tidak dapat dituntut dengan pasal 406 KUHP. Demikian pula seseorang yang bermaksud mengambil sebuah barang yang dikira kepunyaan orang lain, ternyata barang itu dihibahkan oleh pemilik semula kepadanya, disini tidaka dapat dituntut dengan pasal 362 KUHP

b. Rechtsdwaling & c. Error in persona

Rechtsdwaling


melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Didalam rechtdwaling dapat dibedakan menjadi, kekeliruan yang dapat dimengerti (verscoonbaredwaling) dan kekeliruan yang tidak dapat dimengerti (onverschoonbare dwaling). Misalnya orang irian barat yang biasanya hidup sebelum tahun 1962, masih selalu telanjang bulat, dan kebiasaan telanjang itu dilakukan di tempat lain di jawa, karena itu orang irian barat tidak dapat diharapkan untuk mengetahui undang-undang yang berlaku, sehingga perbuatan itu dapat dimengerti atas kekeliruan hukum yang dikira tidak dilarang (verschoonbare dwaling). Sebaliknya seorang Monaco yang biasanya tidak dilarang untukmengadakan perjudian ditempat umum setelah ia di Indonesia meneruskan mata pencaharian dengan berjudi iti dengan mengira tidak dilarang oleh undang-undang yang sebenarnya terjadi kekeliruan hukum sehingga kepadanya tetap dapat dituntut walaupun ada kekeliruan tentang hukum yang berlaku (onverschoonbare).

Error in persona

Kekeliruan mengenai orang yang menjadi tujuan dai perbuatan pidana. Misalnya A hendak membunuh B, oleh karena belum kenal dekat ternyata yang dikira B yang dibunuh iitu adalah C. perbuatan A itu tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan hukum pidana karena kekeliruan.

d. Error in objecto

Kekeliruanmengenai objek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya A melepaskan tembakan kepada suatu sasaran yang dikira seekor rusa, akan tetapi ternyata adah orag yang sedang begerak – gerak dianara pepohonan, sehinga luka parah dan akhirnya meninggal. Dalam peristiwa ini tidak terjadi perbuatan pidana pembunuhan dalam passal 338 KUHP melainkan dapat dituntut karena perbuatan pidana pasal 351 ayat 3 KUHP yang lebuh ringan yaitu menyebabkan matinya seseorang karena penganiayaan.

e. Aberratio ictus

kekeliruan dalam hal ini mempunyai corak lain daripada error in persona karena orangnya, akan tetai karena macam-macam sebab perbuatanya menimbulkan akibat yang berlainan daripada yang di kehendaki. Misalnya A hendak embunuh dengan lemparan pisau kepada B yang tidak mengenainya, akan tetapi terkena pada C yang berdiri di dekat situ. Kepada A dapat dituntut hukum pidana karena kealpaanya menyebabkan metinya orang lain, ataupun tuntutan lainya tergantung dari hasil pemeriksaan sidang dengan hasil kemudian sebagai kejahatan terhadap nyawa orang. Karena jlanya aberratio ictus sedemikian rupa , adakalanya pendapat lain bahwa aberratio ictus itu tidak ada dwaling, melainkan suatu perbuatan pidana yang jalnya kausal menjadi lain dengan apa yang dikehendaki oleh pembuatnya.

Seperti diketahi dalam KUHP dikenal beberapa macam istilah “sengaja” (opzet) sebagaiman dirumuskan pada tiap-tiap pasal. Bebrapa istilah itu dapat dipandang sebagai istilah lain atau sama artinya dengan istilah sengaja, oleh karena MvT telah menetapkan kata sengaja sama artinya telah dikehendaki dan diketahui, willen en watens, seperti misalnya istilah : padahal mengetahui (wetende dat) dalam pasal 220 KUHP, yang diketahui (waarvanhij weet) dalam pasal 275 KUHP, yang telah diketahui (waarvanhij kent) dalam pasal 282 KUHP, dan diketahuinya (waarvan hem beken is) dalam pasal 247 KUHP.

Friday 15 June 2007

Mekanisme Pengawasan atas Hak-hak Presiden

15 Desember 2003
Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya (non)hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian...

Makalah dengan judul sebagaimana tersebut diatas diberikan oleh Panitia Seminar dan ditulis atas permintaan dari The Center for Presidential and Parliamentary Studies Paramadina dengan kerjasama The Partnership for Governance Reform in Indonesia. Judul tersebut terutama bertalian dengan materi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, jarang dikupas dalam buku teks hukum pidana berbahasa Indonesia, kecuali dalam buku hukum pidana berbahasa Belanda, semisal dalam “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Starftrecht oleh D. Hazewinkel – Suringa, Bewerkt door J. Remmelink”. Subtansi tersebut di atas juga jarang sekali dibahas dalam perkuliahan secara klasikal, oleh karena secara praktis jarang sekali ditemui kasus-kasus yang “celebre” bertalian dengan judul tersebut di atas. Baru akhir-akhir ini dengan adanya kasus Hutomo Mandala Putra alias Tommy (bin) Suharto, kasus grasi yang berdampingan dengan kasus Peninjauan Kembali tiba-tiba menjadi sangat menarik dan ramai dibicarakan oleh media massa terutama bertalian dengan putusan Peninjauan Kembali yang menghebohkan yang membebaskan Tommy Suharto dalam kasus PT. Goro Batara Sakti. Sebagaimana diketahui putusan Mahkamah Agung RI No.78 PK/Pid/2000 diputuskan oleh majelis Hakim Agung pada tanggal 14 September 2001 oleh Drs. H. Taufiq, S.H.,MH., Wakil Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang dengan Hakim-Hakim Agung anggota H. Soeharto, S.H dan H.German Hoediarto, S.H.

Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya (non)hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pastia atau tetap (in kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi kepada Presiden. Dengan lain perkataan grasi sesungguhnya tanpa seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya ia bukan upaya hukum. Upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Kasasi atau Putusan Peninjauan Kembali. Putusan Peninjauan Kembali inipun baru dapat diajukan oleh terdakwa kalau ada “novum” atau ada bukti baru, yang tidak pernah diajukan dan dipertimbangkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi maupun oleh terdakwa q.q advokat tersangka. Praktek dalam penyalahgunaan Kasasi dan atau Peninjauan Kembali yang acapkali bersifat tidak etis dan a-moral dan tidak akan dibicarakan di sini.

Grasi praktis dikenal dalam seluruh sistem hukum di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui, Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Jadi Grasi (dalam bahasa Latin, Gratia) adalah semacam anugrah (di Belgia disebut “genade”) dari Kepala Negara dalam rangka meringankan atau membebaskan pidana si terhukum. Bisa juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Yang menjadi problematik yang dilematis yaitu, apakah seorang Presiden wajib terikat kepada nasehat atau pertimbangan Mahkamah Agung atau dari Menteri Kehakiman.

Dari prespektif sejarah, ketika Raja memiliki kekuasaan yang pada mulanya tidak terbatas atau absolut, tetapi kemudian dibatasi, Raja menganugerahkan “Akt der Billigkeit (Jescheck, h.735; Hazewinkel-Suringa dan Remmelink, h.738) karena adagium “lex dura, sed scripta” (De wet is hard, maar zij is nu eenmaal zo gesehreven; hukum itu keras/kaku, tetapi keadaannya secara tertulis demikian). Dengan perkataan lain, Grasi berusaha melunakkan keadaan yang oleh hukum sendiri sulit untuk ditoleransi. Wewenang toleransi dengan berbagai kebijakan yang bijaksana atas dasar rasa kemanusiaan dengan berbagai pertimbangan yang bisa bersifat politis, ekonomis, sosiologi, juga secara kultural, Presiden sebagai Kepala Negara dipandang mampu untuk mengambil putusan secara bijak dalam rangka memberikan persetujuan atau menolak grasi. Presiden dianggap dapat berfungsi sebagai seorang raja Sulaiman.

Dalam era Reformasi dan dalam rangka amademen UUD 1945, grasi harus mendapatkan “pertimbangan” dari Mahkamah Agung (Pasal 14 UUD 1945 perubahan pertama). Fenomena ini memang baru dalam konstelasi politik dewasa ini setelah lebih dari tiga dekade legislatif merupakan tukang stempel eksekutif. Setelah Suharto tumbang dan Habibie diganti oleh Abdurrahman Wahid, legislatif seperti mendapatkan semangat (baru) dan manuntut agar Grasi wajib mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Apakah hal itu memang wajib demikian? Dalam UUD 1945 sebelum amandemen pertama, dalam pasal 14 hanya disebut: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Yang menjadi persoalan ialah, apakah Presiden sebagai Kepala Negara sebelum amandemen UUD 1945 pernah atau merasa perlu meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Lazimnya demikian. Andaikan Presiden sebagai Kepala Negara tidak memintakan atau memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, lalu apa konsekuensinya? Hal itu tidak jelas.

Di zaman Hindia Belanda sudah ada Gratie Regeling yang diatur dalam S. 1933 No.2 Kemudian pada tanggal 1 Juli 1950 Undang-Undang Grasi Nomor 3 diundangkan dalam LN 1950 No.40. Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan bertalian dengan Undang-Undang Grasi tersebut di atas. Dalam pasal 2 ayat 3 dinyatakan bahwa pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum ada keputusan Presiden berupa fiat pelaksanaan. Tenggang waktu pengajuan Grasi adalah 14 hari. Yang menarik yaitu bahwa dalam soal Grasi ini Mahkamah Agung meminta pertimbangan dari Jaksa Agung, kemudian Menteri Kehakiman meneruskannya semua berkas yang diterima kepada Presiden.
Sebagaimana telah disinggung di atas, kemungkinan meskipun probabilitas itu (sangat) kecil, seorang Presiden dapat saja mengambil suatu keputusan yang secara diamentral dapat bertentangan dengan segala nasehat yang diterimanya. lagipula tidaklah diatur tenggang waktu beberapa lama seorang Presiden harus mengambil keputusan. Dimana Suharto berkuasa, tenggang waktu sangat bergantung pada selera Presiden.

Kalau di Indonesia cuma dikenal satu jenis grasi, maka di belanda ada apa yang dinamakan “rechterlijk pardon” (pengampunan hakim sejak 1 Mei 1983). Dengan adanya “rechterlijk pardon” bertalian dengan kesulitan keuangan dari si terdakwa, maka tidak dibutuhkan grasi lagi.
Tahapan dari kebebasan atau ketidakterikatan non hukum yang bersifat hak prerogratif dari seorang Presiden, Grasi sesungguhnya memiliki beberapa hal yang memungkinkan seorang Presiden bertindak;

a. bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan;
b. hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu mengadili si terdakwa. Contoh yang sangat “frapant” adalah dalam kasus “celebre” Jean Calas yang mendapat kecaman pembelaan dari Voltaire, sehingga pada tahun 1765 harus “diadili” kembali untuk kemudian dibebaskan;
c. perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Suharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti;
d. kalau ada ketidakadilan yang begitu menyolok misalnya sehabis revolusi atau peperangan.
Grasi hanya dapat diberikan bila putuan pengadilan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebelum itu belum dapat dimintakan Grasi.
Keadaan yang menghebohkan terjadi ketika Grasi diajukan praktis secara hampir bersamaan dengan permohonan Kasasi dalam kasus Tommy Suharto. Padahal, seseorang yang memintakan Grasi baik secara implisit maupun secara eksplisit mengakui bahwa ia bersalah. Disinilah problematik yang tampak tidak digubris oleh para Hakim Agung yang mengadili kasus Tommy Suharto dalam kasus Peninjauan Kembali. Selebihnya saya tidak akan masuk dalam problematik itu, mengingat ruang lingkup judul tersebut di atas.

Di Belanda juga dikenal apa yang dinamakan “voorwaardelijke gratie” yang tidak dikenal di Indonesia. “Voorwaardelijke gratie” dari namanya saja bisa dijelaskan bahwa grasi yang diberikan itu mengandung syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh si pemohon Grasi. Misalnya, dalam masa percobaan, bila syarat-syarat itu dilanggar, maka Grasi dapat ditarik kembali. Juga dikenal apa yang dinamakan “collective gratie”, misalnya dengan KB 4 November 1919 dan “Staatsbladgraties”, misalnya dalam KB 29 Agustus 1923.

Dalam pasal 14 UUD 1945 yang telah diamandemen, dinyatakan:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Rumusan Pasal 14 tersebut diatas sudah begitu jelas, dengan catatan bahwa sebelum reformasi dengan mengamandemen UUD 1945, Presiden diberi kewenangan memberi Grasi dan Rehabilitasi tanpa pertimbangan Mahkamah Agung, kecuali dari Menteri Kehakiman sedangkan untuk Amnesti dan Abolisi tanpa pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Reformasi, pendulum kekuatan berayun ke arah “legislative heavy” dan saya pandang itu wajar saja, mungkin berdasarkan pengalaman legislatif sebagai tukang stempel di masa lalu. Yang menjadi problematik yaitu bagaimana bila Presiden tidak atau kurang memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dengan lain perkataan, apakah seorang Presiden harus “quote que quote” patuh pada pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam kedudukan sebagai Kepala Negara dalam konstelasi yuridis Trias Politica, hemat saya, Presiden tidak mempunyai kewajiban secara “conditio sine qua non” untuk mengikuti pertimbangan Mahkamah Agung. Secara “mutatis mutandis” juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan segala konsekuensi dan implikasi akibat politik yang tidak menyenangkan.

Dalam kasus Amnesti dan Abolisi, Presiden sebagai Kepala Negara secara “mutatis mutandis” mengalami hal yang sama, tetapi kini memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana kalau Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai bagian dari eksekutif tidak atau kurang memperhatikan saran Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam praktek di era Reformasi hal itu belum pernah terjadi. Dan mengingat betapa dominannya Dewan Perwakilan Rakyat dewasa ini, maka tentu Presiden akan dengan sungguh-sungguh memperhatikan konstelasi politik yang ada.

.Amnesti berarti ditiadakan akibat hukum dari delik tertentu atau dari sekelompok delik demi kepentingan si terdakwa, si tersangka dan mereka yang belum diadili untuk ditiadakan akibat hukum dari delik-delik yang di maksud. Dalam hal ini berlaku pula apa yang dinamakan “ante sententiam”, yaitu sebelum putusan atau vonis hakim dibacakan. Bagaimana dengan mereka yang belum tertangkap atau yang belum diketahui tetapi melakukan delik itu. Tentu saja mereka itu semua “dibebaskan”, jadi sebelum fase berlaku “ante sententiam”. Pada umumnya amnesti bertalian dengan soal politik, sehingga dapatlah difahami kalau dalam hal politik, maka Dewan Perwakilan Rakyat perlu diikutsertakan dalam soal pertimbangan. Apalagi Amnesti selalu menyangkut sekelompok orang dan demi kepentingan Bangsa dan Negara. Ketika Abdurrahman Wahid diangkat menjadi Presiden, maka ia telah meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk sejumlah orang yang sudah dan tengah diadili akibat dari pendirian rezim Suharto dan Habibie.

.Berbeda dengan Grasi dan Amnesti, maka dengan Abolisi dimaksudkan ditiadakan atau dihapus bukan saja hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang menyangkut akibat-akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti putusan hakim (vonis). Abolisi tampaknya memiliki kaitan sejarah dari sarjana hukum Romawi yang berpendirian: “Deletio, oblivio vel extinctio accusationis”, yang berarti meniadakan, melupakan dan menghapuskan soal tuduhan. Dalam hubungan ini termasuk pula “ante sententiam”.

.Berbicara tentang problematic Rehabilitasi, maka perlu dikemukakan di sini bahwa dalam KUHAP juga diatur hal Rehabilitasi, yaitu dalam pasal 97 KUHAP:
(1) Seseorang berhak memperolah rehabilitasi apabila oleh Pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segal tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak dijukan ke Pengadilan Negeri diputus oleh Hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

Kalau Rehabilitasi sudah diatur dalam KUHAP, maka apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan Rehabilitasi dalam pasal 14 ayat 1 UUD 1945. Tampaknya ketika UUD 1945 disusun, pada waktu itu dengan mengikuti pola (Hindia) Belanda, Rehabilitasi belum dikenal dalam HIR atau seperti yang ditulis oleh Hazewinkel – Suringa bewerkt door Remmelink bahwa “ons recht kent niet, althans niet in criminalibus de door de rechter te verlenen rehabilitie” (1984, h.746). Namun dengan adanya peraturan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 seolah-olah menjadi “overbodig”. Hal ini bergantung dari perspektif mana hal itu hendak dianalisis. Karena kini Rehabilitasi sudah diatur dalam KUHAP, maka Rehabilitasi yang akan diberikan oleh Presiden, mungkin bertalian dengan hal-hal yang menyangkut Grasi, Amnesti dan Abolisi, bila hal itu dipandang perlu untuk merehabilitasi mereka yang telah memperoleh Grasi, Amnesti, Abolisi, atau bila suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan dan di kemudian hari baru diketahui ada kekhilafan dari Pengadilan berupa “error facti” atau “error in objecto” atau “error in persona” atau “error invincibilis facti” atau “error juris” atau setelah terpidana meninggal dunia baru diketahui ada bermacam-macam “error” yang salah satunya menyangkut kasus dan posisi serta pribadi almarhum. Dalam hal yang demikian, bila Pengadilan ragu-ragu atau berkeberatan melakukan Rehabilitasi, maka sudah selayaknya bila Presiden sebagai Kepala Negara dan Bapak atau Ibu Bangsa memberikan rehabilitasi. Bagaimanapun keliru atau terlambat, keadilan harus ditegakkan dan yang bersangkutan patut direhabilitasi.


Kesimpulan.
Problematik yang masih harus dipikirkan dan ditemukan atau diciptakan doktrin hukum, yaitu bagaimana bila Presiden tidak merasa terikat dengan mekanisme atau menolak pertimbangan Mahkamah Agung. Demikian pula secara “mutatis mutandis” dengan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Waktu dan perkembangan, terutama bertalian dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta berkehidupan sosial, politik dan kultural, diharapkan dapat pada suatu waktu dirumuskan doktrin hukum jika timbul konflik oleh karena Presiden mempunyai pendirian tersendiri, yang tentu bisa juga dipengaruhi oleh kristalisasi kehidupan berbangsa, kehidupan politik hukum dan terutama kehidupan kultural.
[J.E. Sahetapy]
sumber ;
http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=16

Terpidana Mati Kasus Narkoba :: KAPAN DIEKSEKUSI ?

[10 Oktober 2006, 11:47 WIB] Oleh : SADAR BNN September 2006 / Adi KSG IV
... Banyak permohonan grasi dari para terpidana mati kasus narkoba yang datang kepada saya. Tetapi tentunya, saya sendiri lebih memilih keselamatan bangsa dan negara kita, memilih keselamatan generasi kita, generasi muda kita, dibanding memberikan grasi kepada mereka..."
(Disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan HANI 2006 di Istana Negara)

Sejak tahun 1994 sampai dengan saat ini (tahun 2006), tercatat 44 orang telah mendapat vonis hukuman mati pada tingkat pengadilan pertama. Proses seianjutnya 3 orang di antaranya telah menjalani eksekusi hukuman mati pada tingkat kasasi, 10 orang yang telah mendapatkan vonis hukuman mati mengajukan peninjauan kembali (PK), 5 orang berubah menjadi hukuman seumur hidup, 1 orang berubah menjadi hukuman 15 tahun penjara, serta yang lain masih dalam proses banding dan kasasi.

Dari data tersebut kita mungkin akan mengajukan kata "heran". Atau lebih tepat lagi kita mempertanyakan kembali tentang kesungguhan pemerintah dalam proses hukum kasus narkoba. Sebab, sejak tahun 2004 tercatat baru 3 orang yang telah menjalani proses eksekusi mati, sisanya selalu dikatakan masih dalam proses. Padahal, telah berulang kali pemerintah mengatakan tentang kesungguhannya menangani kasus narkoba. Bahkan, presiden pun dengan jelas menolak pemberian grasi kepada para terpidana narkoba.

Sedikit angin segar pun berhembus. Pada bulan Juni lalu, sebagian pemberitaan di media massa merilis tentang kepastian Kejagung (Kejaksaan Agung) untuk segera mengeksekusi 16 orang terpidana kasus narkoba yang akan dihukum mati. Dalam pemberitaan tersebut disebutkan, proses hukum ke-16; terpidana mati tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde) dan siap untuk dilaksanakan eksekusi. Namun, yang menjadi masalah pihak Kejagung belum bisa memastikan batas waktu eksekusi tersebut.

Mungkin benar juga bila kita mengutip pernyataan aktivis LSM Narkoba yang juga pengacara terkenal, Henry Yosodiningrat yang mengatakan tidak terima bahwa kasus narkoba masih ditempatkan di urutan terakhir dalam 3 prioritas utama penegakan hukum di Indonesia setelah korupsi dan terorisme. Alasannya, ditinjau dari dampak kerugian dan korban jiwa ! yang jatuh, kejahatan narkoba sangat jauh melampaui dua kejahatan sebelumnya.


Kendala yang Dihadapi

Inti persoalannya adalah proses eksekusi bagi para terpidana mati kasus narkoba tidak kunjung dilakukan walaupun telah memiliki kekuatan hukum tetap. Padahal untuk menunggu adanya kekuatan hukum tetap, dibutuhkan waktu yang sangat lama. Ayodhya Prasad Chaubey, seorang warga negara India, dan dua orang berkebangsaan Thailand, Saelow Prasert dan Namsong Sirilak, membutuhkan waktu 10 tahun sebelum akhirnya mereka dieksekusi pada tahun 2004.

Kepala Pusat Dukungan Penegakan Hukum Pelaksana Harian BNN (KapusDukGakum BNN) Drs. Djoko Satriyo, Msi pun menyesalkan kenapa para terpidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak segera dieksekusi. "Itu yang menjadi masalah. Karena memang hukum di negara kita ini tidak menjelaskan berapa lama orang itu menjalani upaya hukum dari satu proses ke proses yang lain. Dalam hukum acara pidana kita tidak jelas. Sistem hukum kita yang mengatur demikian sehingga para terpidana masih bisa bermain dengan sistem hukum yang ada ini." ucap Djoko. Menurutnya yang menjadi kendala sebetulnya adalah komitmen dari masing-masing pihak, sebab prinsipnya adalah ketika suatu perkara sudah memiliki kekuatan hukum tetap, maka harus segera dilaksanakan eksekusinya.

Senada dengan Djoko, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Komisi II, Anhar Nasution mengatakan bahwa para anggota dewan sudah lelah berteriak kepada Jaksa Agung agar segera melaksanakan eksekusi para terpidana kasus narkoba yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu Anhar menganggap bahwa kejaksaan ini lelet. "Kalau begini terus bagaimana nasib bangsa ini ke depan terkait dengan hukuman mati tentang kasus narkoba?" kecam Anhar. Anhar menambahkan bahwa setiap persoalan tertundanya pelaksanaan eksekusi terpidana mati kasus narkoba ini ditanyakan kepada pihak Kejaksaan, dirinya selalu mendapatkan jawaban persoalan ini sedang dikaji oleh tim kejaksaan. "Sampai kapan pengkajiannya, kita juga tidak tahu," ujar pria yang juga menjadi Ketua Presidium Satgas Anti Narkoba (SAN) ini.

Di lain tempat, kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala berpendapat tertundanya pengeksekusian hukuman mati untuk perkara narkoba bukan semata-mata karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan upaya hukum dari tingkat banding sampai tingkat grasi, walaupun itu tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab tertundanya eksekusi. Adrianus menjelaskan dengan memberi contoh kasus Fabianus Tibo dan kawan-kawan, terpidana mati kasus Poso yang hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan kekuatan hukum tetap pada tingkat grasi. "Artinya sebenarnya itu bisa dibuat cepat kok," ucap Adrianus singkat.

Lalu kalau memang proses untuk mendapatkan kekuatan hukum tetap bisa dipercepat, mengapa yang terjadi dalam perkara narkoba malah sebaliknya? Apakah ini mengindikasikan pemerintah kurang serius dalam menangani masalah narkoba, padahal dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia belum pernah ada seorang presiden yang memberikan grasi kepada para terpidana mati kasus narkoba. Ini mengambarkan bahwa dalam tataran pemimpin, kesungguhan untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sudah bagus. Namun parahnya, hal itu tidak dilaksanakan dengan baik oleh tataran bawah, yakni instansi-instansi terkait yang mengurusi.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam hal ini yang mendapatkan sorotan paling banyak. Sebab keputusan untuk mengeksekusi para terpidana mati ada di lembaga ini. Namun sayangnya ketika SADAR mencoba menanyakan perihal ini, pihak Kejaksaan Agung tidak menanggapi dan menjawab pertanyaan kami dengan alasan birokrasi atau belum ada disposisi dari pimpinan.


Perlu Revisi Undang-undang

Penyelesaian masalah narkoba di Indonesia jelas butuh penanggulangan yang menyeluruh. Artinya selain ada upaya pencegahan, pengobatan untuk orang yang sudah terkena narkoba, juga harus dibarengi dengan penegakan hukum yang keras dan tegas kepada para penjahat narkoba ini. Menanggapi lemahnya penegakan hukum untuk kasus narkoba di Indonesia, Anhar Nasution beranggapan bahwa memang perlu adanya perubahan total dari UU Narkotika No. 22 tahun 1997 dan UU Psikotropika No. 5 tahun 1997.

Anhar yang kebetulan juga anggota dari Panitia Khusus (Pansus) Narkotika DPR mengatakan bahwa Pansus sudah menyepakati adanya jangka waktu untuk pelaksanaan hukuman mati bagi para terpidana yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap. "Maksimal dalam waktu 30 hari setelah mempunyai kekuatan hukum tetap itu harus segera dieksekusi secara otomatis, tidak usah ada fatwa-fatwa lagi dari MA," terangnya.

Anhar juga menyebutkan bahwa khusus untuk kasus narkoba, UU-nya akan bersifat lex spesialis atau hukum yang mengalahkan hukum-hukum lain. Jadi nantinya para terpidana kasus narkoba yang dipidana dengan hukuman mati tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukan upaya hukum seperti banding sampai grasi. Alasannya adalah karena para penjahat narkoba ini telah menghancurkan generasi muda bangsa Indonesia. Selain itu dalam revisi UU itu, Pansus juga akan mengacu pada hukum naRkoba yang diterapkan oleh Malaysia dan Singapura. Di dua negara tetangga tersebut diterapkan aturan jumlah minimal kepemilikan narkoba dan minimal hukumannya. Misalnya apabila seseorang ditangkap dengan barang bukti minimal 10 gram heroin, maka akan dipidana minimal 15 tahun penjara. Di Indonesia aturan seperti itu belum ada, yang ada hanyalah hukuman maksimal bukan hukuman minimal. "Nab, kalau ditulis paling lama lima tahun kan hakim bisa memutus sepuluh bulan atau satu bulan." terang Anhar.


Aturan Hukum Belum Jelas

Namun untuk merealisasikan permasalahan di atas, dibutuhkan aturan hukum yang jelas. "Sekarang ini kan hukumannya masih kurang jelas. Masih bias, antara pemakai dan pengedar atau bandar suka tumpang tindih. Nah, ini yang harus kita pertegas. Kalau memang betul dia sebagai pemakai atau korban, oleh negara wajib direhabilitasi. Tapi kalau dia pemakai tanpa melaporkan dan berulang kali dia lakukan itu, itu bukan lagi korban. Itu sudah menyalahi UU narkotika itu sendiri dan ada hukumannya. Berat ringannya sanksi itu kita tetapkan kemudian. Perhitungan kita kemarin itu hampir semua sepakat harus dihukum seberat-beratnya." ucap Anhar panjang lebar.

Dalam acara "Lokakarya Hukuman Mati di Indonesia" yang diadakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di Hotel Borobudur Jakarta, 6 Juli 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dalam makalahnya yang berjudul "Pelaksanaan Hukuman Mati Perkara Narkotika dan Psikotropika di Indonesia" menyebutkan bahwa hambatan yang sering ditemui dalam pelaksanaan pidana mati antara lain karena aturan hukum mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) masih belum jelas, sehingga dimanfaatkan terpidana untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali untuk yang kedua kalinya. Lalu belum jelasnya aturan hukum yang mengatur apakah terpidana yang sudah mengajukan grasi dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan apakah grasi merupakan upaya hukum terpidana yang terakhir.

Kalau melihat dua hambatan yang disebutkan oleh Jaksa Agung tadi, maka masalah belum jelasnya hukum di Indonesia bisa dibilang adalah penyebab utama banyaknya perkara hukum yang terbengkalai dan tidak kunjung mendapat kekuatan hukum yang tetap. Namun, Djoko Satrio berpendapat lain. Menurutnya, dalam hukum acara pidana di Indonesia tidak terdapat peninjauan kembali untuk yang kedua kalinya. Djoko menyesali kenapa hal ini bisa terjadi dan Mahkamah Agung pun menerima permohonan PK yang kedua kalinya ini. Hal-hal seperti ini, tambah Djoko, harus segera dihilangkan, karena beberapa penelitian sudah memberi arah nyata bahwa permasalahan narkoba di negeri ini sudah sangat parah. "Marilah kita bicara hati nurani. Marilah kita melihat masa depan generasi penerus bangsa. Karena kalau tidak bangsa kita bisa dipimpin oleh para pemakai-pemakai narkoba semuanya." ungkap Djoko.


Seperti KPK

Perubahan status kejahatan narkoba dari pidana umum menjadi pidana khusus, juga masuk ke dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika yang dilakukan. Anhar mencontohkan, seperti halnya kasus korupsi yang memiliki komisi khusus KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan menempatkan jaksa penuntut khusus pula. Menurut Anhar, dalam revisi undang-undang, hakim dan jaksa khusus bagi kejahatan narkoba memang akan dibentuk dan diatur dalam undang-undang tersebut. "Jadi, hakim narkoba mengetahui betul bahwa narkoba itu merusak bangsa. Tidak sekedar menjatuhkan sanksi pidana, tidak hanya itu saja. Kalau bicata pidana gampang saja mereka menjatuhkan sanksi. Bisa dua bulan, tiga bulan, sebelum keluarga mereka kena, belum dihukum sebenar-benarnya," ujatnya lagi.

Adanya hakim setta jaksa penuntut khusus narkoba juga menjadi keinginan dati Djoko. "Jadi biat hakim dan jaksa itu bisa mendalami tentang narkoba. Percayalah pasti banyak pekerjaan hakim dan jaksa narkoba itu. Sekarang saja di penjara itu hampir 50 persen adalah narapidana kasus narkoba. Jadi gak mungkin hakim dan jaksa narkoba itu nganggur," ujar Djoko.

Komitmen penegak hukum dalam menangkap para pelaku kejahatan narkoba memang terlihat mengalami kemajuan yang pesat. Namun, apabila tidak diikuti oleh sanksi yang tegas dan proses hukum yang cepat, semuanya jadi tampak tidak berarti. Kasus dihukumnya Hariono Agus Cahyono, seorang bandar yang memiliki tiga kilogram shabu yang yang "hanya" dijatuhkan vonis pidana tiga tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakara Barat adalah bukti yang paling jelas. Bahkan untuk para terpidana mati kasus narkoba yang telah mendapat kekuatan hukum tetap pun pelaksanaan eksekusinya masih ditunda-tunda. Ketegasan ternyata masih sulit untuk dilakukan!
http://www.bnn.go.id/sumber;

Thursday 14 June 2007

GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

MaPPI FHUI

07 Dec 2005, 15:58:02 WIB - pemantauperadilan.com

Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan dalam talkshow kali ini adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.

Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh Sebagai contoh A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut (kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).

Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.

Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.

Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Sebagai contoh adalah kasus Baasyir. Baasyir menuntut ganti kerugian atas tindakan terhadap dirinya yang diambil paksa oleh aparat pada saat dirinya dirawat di rumah sakit. Pada kenyataannya Ba’asyir memang mengajukan praperadilan dan ganti kerugian atas tindakan itu, karena tindakan yang dilakukan oleh aparat dalam melakukan penangkapan dan penahanannya itu menurut Ba’asyir dan penasehat hukumnya tidak sah.

Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).

Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.

Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.

Setelah penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q. sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.

Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut.

Dasar hukum adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan, pembunuhan. Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut mendapatkan kerugian.

Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut. Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata, namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan.

Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat.

Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi. Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim memutus perkara tersebut.

Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita.

Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara perdata.

Sebagai contoh, misalnya terjadi pembunuhan dimana korban meninggal dunia, kemudian terdakwa membayar ganti kerugian kepada keluarga korban dengan akta yang disahkan oleh notaris. Pembayaran ganti kerugian seperti itu tidak membatalkan kasus pidananya. Jadi pembayaran ganti kerugian secara sukarela dari terdakwa untuk korbannya itu tidak menghapuskan perkara pidananya untuk perbuatan dia. Mengenai apakah si korban bisa lagi meminta ganti kerugian maka hal itu tergantung pada isi dari akta notaris tersebut.

Apabila dari pihak korban ngga sesuai dengan permintaannya dia itu tergantung dengan terdakwa atau terpidananya. Kalau misalnya terpidananya mengajukan banding. Misalnya terpidananya diputus bersalah dan harus membayar ganti kerugian, lalu terpidananya mengajukan banding atas kasus itu, maka ganti kerugian itu juga bisa dimintakan banding. Kalau misalnya terpidananya tidak mengajukan banding, dia sudah langsung di pengadilan negeri selesai dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap maka korban tidak bisa meminta banding karena permohonan ganti kerugian ini mengikuti perkara pidana. Perkara pidana selesai maka permohonan ganti kerugian juga selesai.

Pengertian rehabilitasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau semula. Pasal 9 UU No.14 tahun 1970 itu tentang kekuasaan kehakiman mengatakan bahwa seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Pengertian rehabilitasi dalam UU ini adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Kemudian menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini. Rehabilitasi mengikuti ganti kerugian. Artinya praperadilan dilakukan karena permohonan ganti kerugian, karena aparat salah melakukan penangkapan, atau tidak sesuai dengan hukum dan sebagainya dan setelah itu (setelah praperadilannya dikabulkan oleh hakim) maka yang bersangkutan bisa meminta rehabilitasi agar nama baiknya dipulihkan kembali.

Pihak-pihak yang berhak mengajukan rehabilitasi itu adalah pihak yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Misalnya seseorang diadili, kemudian diputuskan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka dia itu berhak memperoleh rehabilitasi atas pemulihan nama baiknya.

Perbedaan antara rehabilitasi dengan pencemaran nama baik adalah bahwa rehabilitasi dilakukan karena perbuatan aparat penegak hukum. Artinya si pemohon rehabilitasi adalah tersangka, terdakwa, terpidana yang permohonan praperadilannya dikabulkan (ada campur tangan aparat) karena rehablitasi itu adalah hak yang diberikan oleh KUHAP kepada tersangka atau terdakwa. Rehabilitasi lebih kepada hal yang tidak berhubungan dengan materi melainkan hanya menyangkut nama baik saja karena rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang hak atau kemampuan seseorang dalam posisi semula. Sementara pencemaran nama baik diatur dalam KUHP (mengenai pencemaran nama baik) adalah gugatan dari seseorang kepada orang lain yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Jadi tidak ada campur tangan aparat dalam hal upaya paksa.

Permintaan rehabilitasi bisa diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya. Jadi ahli waris juga bisa mengajukan rehabilitasi. Begitu juga halnya dengan ganti kerugian.

Delik, 9 Juni 2003

Narasumber : Diah Lestari.P. dan Theodora YSP

(divisi riset MaPPI)

sumber; http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=243&tipe=kolom



Perbankan & Keuangan Wewenang mengadili sengketa perbankan syariah

Pertanyaan :

Baru-baru ini sedang melambungnya pamor perbankan syariah seiring fatwa MUI tentang status bunga bank. Nah, bagaimana bila terjadi sengketa menyangkut perbankan syariah, apakah merupakan wewenang Peradilan Umum(PN perdata) ataukah wewenang Peradilan Agama? Apakah ditentukan juga adanya perkara koneksitas antara PU-PA bila misalnya kasus tersebut menyangkut pihak perbankan konvensional dan perbankan syariah? Apa dasar hukumnya dalam pemecahan masalah tersebut?

Jawaban :

Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus mengetahui kewenangan dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum.

Kewenangan Pengadilan Agama:

Berdasarkan ketentuan ps.49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama), disebutkan:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan;

b. Kewarisan; Wasiat; dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam

c. Waqaf dan Shadaqoh

Kewenangan Pengadilan Umum:

Berdasarkan ketentuan ps.50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), disebutkan bahwa :

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Melihat kepada definisi kewenangan diatas, Kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya untuk hal-hal tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu. Pengertian orang dalam ketentuan mengenai kewenangan tersebut tidak dapat diartikan melalui intepretasi analogi sebagai “badan hukum”, karena dipersyaratkan beragama Islam. Badan hukum, termasuk Bank Syariah secara hukum tidak “beragama islam”, meskipun mungkin menjalankan kaidah syariah. Dengan demikian, sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah tidak termasuk kewenangan dari Pengadilan Agama.

Apabila dimasukan dalam kewenangan pengadilan umum, apakah dari segi hukum syariahnya memungkinkan? Untuk itu kita perlu memahami terlebih dahulu beberapa terminologi dan kaidah-kaidah dasarnya.

Syariah, dari akar katanya berarti adalah jalan yang ditempuh atau garis yang harus dilalui. Dalam pemahaman terminologi, Syariah diartikan sebagai Ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan Manusia untuk menjalankan peranan hidupnya yaitu untuk beribadah. Sumber hukum syariah adalah dari Al- Qur’an dan Al-Hadist (Sunah Rasulullah).

Secara garis besar, ketentuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang mengatur mengenai Ibadah, yaitu bentuk hubungan manusia dengan Allah (habluminallah) dan yang mengatur mengenai hubungan sesama manusia (hablumminannas) atau lebih dikenal dengan muamalah. Muamalah, dalam istilah hukum kita lebih dikenal dengan Perdata.

Kaidah dasar untuk ibadah adalah: segala sesuatunya haram untuk dilakukan, kecuali yang telah jelas-jelas diperintahkan.

Kaidah dasar untuk muamalah/ perdata adalah : segala sesuatunya boleh, kecuali yang telah jelas-jelas diharamkan. Muamalah dalam bahasa hukum konvensional dikenal dengan istilah perdata (privat).

Kegiatan usaha Perbankan Syariah, diwujudkan dalam aqad-aqad yang dibuatnya, baik itu dalam bentuk musyarakat, mudarabah, ataupun bentuk-bentuk yang lain. Tindakan membuat Aqad tersebut termasuk dalam klasifikasi muamalah, maka dari itu segala sesuatunya diperbolehkan, sepanjang tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang, termasuk penggunaan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.

Jika kemudian timbul sengketa terhadap Aqad bank syariah tersebut, karena termasuk dalam kaidah syariah muamalah, maka kita dibebaskan untuk menyelesaikannya dengan cara yang menurut kita baik, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang telah dilarang oleh syariah. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum Syariah boleh dipergunakan hukum acara perdata dalam Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Perbankan Syariah.

Sedangkan dalam definisi kewenangan Pengadilan Umum, sebagaimana telah disebutkan diatas, perkara perdata/muamalah adalah kewenangan dari Pengadilan Umum, maka dengan demikian telah jelas bahwa sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah menurut hukum adalah kewenangan Pengadilan Umum, dan hal tersebut diperbolehkan (tidak dilarang) oleh kaidah syariah muamalah.

Hanya saja, perlu diperhatikan apabila dalam aqad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter, maka penyelesaiannya harus melalui proses Arbitrase dengan mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa.
(Mahawisnu Alam)

Menyelesaikan Perdata Secara Singkat

Oleh WIRAWAN, S.H., Sp.N (LBH Bandung)

SUDAH menjadi rahasia umum, menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan sangat menyita waktu, tenaga dan biaya. Akumulasi kekecewaan antara lain menghasilkan berbagai sindiran, seperti "lapor kambing, hilang sapi" untuk menggambarkan bagaimana besarnya pengorbanan yang harus dikeluarkan pihak yang berperkara tersebut.

Akan tetapi, bagaimana jika ternyata kita terpaksa harus menggugat, menjadi tergugat atau menjadi turut tergugat dalam perkara perdata? Apakah kita dapat berusaha untuk menghindar dari proses pemeriksaan di pengadilan yang sangat menyita waktu, tenaga dan biaya tersebut?

Jawabannya, dapat. Salah satu peluangnya terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Dengan kata lain, jika kita menjadi pihak yang berperkara (penggugat, tergugat maupun turut tergugat), maka kita dapat mengoptimalkan penyelesaian perkara melalui mediasi yang merupakan suatu metode alternatif penyelesaian sengketa atau disingkat dengan istilah MAPS, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau disingkat dengan istilah ADR.

Di negara maju (dan sudah dimulai oleh beberapa perusahaan besar di Indonesia), penyelesaian sengketa melalui MAPS atau ADR bahkan menjadi klausul (pasal) yang selalu dicantumkan dalam kontrak atau perjanjian, sehingga jika ternyata muncul perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaikannya melalui lembaga MAPS atau ADR tersebut (tidak melalui pengadilan). Dari hal ini dapat kita cermati bahwa MAPS atau ADR telah menjadi strategi preventif untuk mencegah "terjebaknya" para pihak dalam proses "gugat menggugat" di lembaga peradilan.

Lembaga apa saja yang masuk sebagai MAPS atau ADR ?

Pada dasarnya seluruh mekanisme penyelesaian perkara perdata yang diselesaikan dengan tidak menggunakan prosedur beracara di pengadilan dapat dikategorikan dalam MAPS atau ADR. Pada saat ini, mekanisme tersebut sering kita dengar dengan istilah :

- Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartit / dua pihak),

- Mediasi / Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh mediator / konsiliator) dan

- Arbitrase ( penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter ).

Di Indonesia MAPS atau ADR ini bahkan telah telah dilembagakan secara permanen, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang dibentuk berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, serta BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang dibentuk berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999.

Apakah MAPS dan ADR adalah konsep negara asing ?

Sebenarnya MAPS atau ADR bukanlah murni konsep negara asing atau negara maju. Mengapa? Karena pada masyarakat adat di Indonesia, sejak dahulu telah dikenal penyelesaian sengketa alternatif, yaitu dengan menggunakan mekanisme penyelesaian secara adat. Dalam proses penyelesaian yang biasanya dipimpin oleh para tokoh atau pemuka adat, pihak-pihak yang bersengketa akan dipertemukan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat masyarakat setempat.

Dalam masyarakat perkotaan di Indonesia, penyelesaian sengketa alternatif tidak lagi menggunakan mekanisme lembaga adat, tetapi menggunakan mediator yang menjadi "penengah" pihak-pihak yang bersengketa. Yang berperan sebagai mediator biasanya adalah pimpinan masyarakat setempat, seperti Ketua RT atau Ketua RW atau bahkan tokoh agama.

Mengapa MAPS dan ADR dinilai prospektif ?

Jawabannya bermacam-macam. Akan tetapi secara sederhana, jika dibandingkan dengan proses pemeriksaan di pengadilan, maka ada beberapa kelebihan yang akan kita dapatkan jika kita menyelesaikan perkara melalui MAPS dan ADR, yaitu :

1. Proses penyelesaian relatif lebih sederhana dan singkat.

Proses penyelesaian dalam MAPS dan ADR dapat dibuat sesederhana mungkin oleh para pihak. Sebagai contoh, dalam menyusun suatu kontrak, para pihak dapat mencantumkan klausul penyelesaian perselisihan dalam dua tahap, yaitu negosiasi dan arbitrase. Dengan kata lain, jika terjadi perselisihan maka para pihak akan menyelesaikannya dengan terlebih dahulu melakukan negosiasi dan jika tidak berhasil maka sengketa akan diserahkan kepada Arbitrase. (Perlu diketahui bahwa putusan arbitrase adalah putusan yang final dan mengikat kedua belah pihak).

Sebaliknya, jika kita menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, maka para pihak wajib mengikuti seluruh proses yang telah diatur dalam hukum acara perdata yang mengatur tata cara pemeriksaaan perkara. Tahap pemeriksaan di pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) berdasarkan hukum acara perdata dimulai dengan pembacaan gugatan, jawaban dan eksepsi, putusan sela, replik, duplik, pemeriksaan alat bukti (bukti surat dan saksi), konklusi atau kesimpulan dan akhirnya putusan majelis hakim. Dalam praktik, dari satu acara pemeriksaan ke acara pemeriksaan selanjutnya akan memakan waktu 1 (satu) minggu. Sehingga jika diestimasi, suatu perkara perdata yang diperiksa oleh pengadilan paling singkat akan memakan waktu 6 (enam) bulan.

Mengapa proses penyelesaian di pengadilan bisa sangat lama ?

Penyebabnya beragam, mulai dari adanya hak para pihak untuk tidak hadir jika berhalangan (dan sering dimanfaatkan untuk mengulur waktu) sampai terbatasnya ruang sidang dan jumlah hakim yang memeriksa perkara (bila dibandingkan dengan berjubelnya kasus yang harus diperiksa pengadilan). Perlu diketahui, hakim yang memeriksa perkara perdata, juga bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara pidana. Karenanya tidak mengherankan jika tumpukan perkara (perdata dan pidana) membuat proses pemeriksaan perkara di pengadilan sering terkesan sangat lamban dan birokratis.

Selain harus mengikuti proses di pengadilan negeri, jika salah satu pihak tidak puas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi bahkan kasasi ke Mahkamah Agung. Tidak mengherankan jika dalam praktik sering ditemukan suatu kasus yang telah sampai ke Mahkamah Agung, ternyata tidak kunjung selesai setelah berjalan selama 5 (lima) tahun lebih, karena di Mahkamah Agung sendiri telah bertumpuk ribuan berkas perkara yang belum diperiksa.

2. Tingkat kerahasiaan para pihak yang berperkara lebih terjaga.

Berbeda dengan proses pemeriksaan di pengadilan yang berpotensi terpublikasi secara luas (karena menurut undang-undang harus terbuka untuk umum), maka proses pemeriksaan perkara dalam MAPS dan ADR dapat dilakukan secara tertutup. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir potensi terpublikasinya sengketa yang mengakibatkan berkurangnya kredibilitas atau rusaknya nama baik para pihak.

3. Hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat dijaga.

Di dalam pemeriksaan di pengadilan, suasana yang terbangun antara penggugat dan tergugat cenderung konfrontatif, di mana para pihak akan berusaha semaksimal mungkin untuk saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan di depan majelis hakim. Di dalam MAPS atau ADR suasana yang terbangun tidaklah demikian. Kedua belah pihak akan termotivasi untuk mencari solusi yang terbaik tanpa harus saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan (hal ini sering ditemukan dalam proses negosiasi dan mediasi, yang mengutamakan prinsip win-win solution).

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa syarat mutlak dari MAPS atau ADR adalah adanya itikad baik dan kejujuran dari kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, disamping adanya kesadaran terhadap kelebihan sebagaimana tersebut diatas, faktor penghormatan para pihak terhadap proses pemeriksaan dan kepatuhan para pihak untuk melaksanakan putusan lembaga ini merupakan faktor utama efektifnya MAPS atau ADR.

Mudah-mudahan MAPS atau ADR semakin tersosialisasi dengan baik dan semakin diterima sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Semoga bermanfaat ***

sumber; http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/18/teropong/konsul_hukum.htm

Tanggung Jawab Penegak Hukum

Oleh Amir Syamsuddin

KITA sudah mengenal apa yang disebut peradilan sesat, yaitu kegagalan proses mencari keadilan dalam seluruh aspeknya. Ini terjadi karena peradilan gagal memproses pelaku pelanggar hukum secara tepat dan benar serta gagal menerapkan hukum sebagaimana mestinya.

Cikal bakal kegagalan peradilan ini sebagian besar dilakoni aparat penegak hukum kita yang tidak profesional. Kegagalan peradilan ini merupakan kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan yang dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness).

Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum.

KEGAGALAN penegakan hukum akibat ketidakmampuan aparat hukum, menurut pengamatan kami, karena kecenderungan aparat penegak hukum selama ini cenderung pasif dan hanya berusaha memenuhi target atasan semata ketimbang melakukan penegakan hukum secara benar sesuai hukum yang berlaku.

Dalam penegakan hukum, mereka lebih banyak memakai kacamata kuda dalam menyikapi suatu kasus hukum, baik dugaan pidana, perdata, maupun publik, dan kurang mampu menganalisis sebuah kasus secara benar sehingga tidak jarang kasus perdata dipaksa menjadi kasus pidana, atau sebuah kasus dipaksakan diberkas meski kurang bukti dan fakta pendukung.

Kegagalan penegakan hukum akibat ketidakmauan terlihat dari terjadinya proses penegakan hukum yang terkesan tidak transparan dan tidak jujur, bahkan sebuah kasus hukum membuka peluang untuk dijadikan obyek dan ladang pemerasan.

Hal seperti ini akan terjadi jika aparat penegak hukum sengaja memaksakan kasus perdata menjadi kasus pidana, bahkan disertai ancaman penahanan.

Tentu saja, masalah penahanan sering dijadikan obyek tawar-menawar antara penegakan hukum dan tersangka. Sudah begitu banyak keluhan masyarakat mengenai hasil kerja penegak hukum dari tingkat kepolisian sampai putusan pengadilan yang penuh kontroversi.

Kegagalan penegakan hukum baik karena ketidakmampuan maupun ketidakmauan ini dibarengi gejala menjamurnya calo kasus yang menawarkan pengurusan perkara. Pada level ini sudah tidak diperlukan lagi pengacara hebat untuk membela tersangka/terdakwa, tetapi cukup diatur para makelar yang menawarkan pengurusan pembebasan dari penahanan dan perkara di pengadilan. Anehnya, dalam kenyataan, mereka lebih adil daripada pengacara.

MELIHAT sepak terjang aparat penegak hukum saat ini kita perlu melakukan terobosan baru dalam upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban pejabat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim kegagalan penegakan hukum yang mereka lakukan. Polisi, Jaksa, atau hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum berdasar undang-undang, tetapi mereka juga dibebani tanggung jawab untuk menjalankan kewenangannya secara benar dan bertanggung jawab. Para korban atau masyarakat lain secara hukum dapat meminta pertanggungjawaban aparat penegakan hukum sebagai pribadi pejabat bila melakukan penyimpangan dalam proses penegakan hukum dan bertindak sewenang-wenang (willkeur) yang melanggar hak-hak asasi warga negara.

Pertanggungjawaban atas penegakan hukum tingkat pidana dapat dimintakan kepada polisi/jaksa sebagai pribadi pejabat sampai dengan jajaran di bawahnya yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebuah kasus secara ceroboh dan tidak profesional.

Fakta adanya kecerobohan dan tidak profesionalnya aparat hukum bisa dilihat dari kasus-kasus yang dipaksakan, bahkan tersangka dipaksa ditahan meski kurang bukti. Tidak jarang para tersangka yang telah disandera kemerdekaannya secara paksa itu akhirnya dilepas begitu saja setelah tidak ditemukan bukti cukup, tanpa kompensasi apa-apa.

Selama ini para korban tidak pernah melakukan pengaduan atau memasalahkannya meski sudah menderita dan kemerdekaan mereka dirampas paksa. Hal ini terjadi karena kultur masyarakat kita yang begitu besar ketakutannya pada aparat hukum sehingga mereka lebih baik memilih untuk tidak berurusan dengan yang namanya "hukum".

Apalagi bagi pengusaha-pengusaha besar meski sudah menjadi korban pemerasan aparat, mereka lebih memilih sikap kooperatif dengan aparat hukum ketimbang melakukan perlawanan. Itu sebabnya, KKN sampai saat ini tidak pernah dapat diberantas, karena tanpa sadar masyarakat sendiri ikut melestarikan sikap koruptif dan kesewenangan aparat penegakan hukum.

Selain itu, kita juga menyaksikan fakta yang tak dapat disangkal dan bukan rahasia lagi laporan masyarakat tentang suatu kejahatan, disikapi secara bisnis oleh aparat penegakan hukum. Akibatnya, bagi yang punya uang, hukum bisa dibeli, tetapi bagi yang miskin, hukum hanyalah sumber penderitaan.

JIKA kita melihat fakta adanya penegakan hukum yang keliru, aparat penegak hukum juga bisa dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas perbuatan mereka yang secara keliru merampas kemerdekaan orang lain secara paksa. Mereka juga bisa dituntut melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatan yang menjadikan sebuah kasus sebagai ladang korupsi (judicial corruption).

Karena itu ke depan, masyarakat kita tidak boleh hanya mengeluh dan ngedumel, tetapi harus berperan aktif memperbaiki kondisi yang ada. Masyarakat yang menjadi korban tindakan aparat hukum jangan segan-segan melakukan tuntutan bila hak-hak mereka dirugikan. Kini kita sudah mempunyai lembaga super bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tidak pidana korupsi, kita juga memiliki lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pers yang bisa menjadi alat kontrol di mana saja sehingga masyarakat tidak perlu lagi takut terhadap tindakan-tindakan melanggar hukum dari penguasa ataupun aparat penegak hukum.

Ada contoh menarik dari anggota masyarakat yang berani melawan sikap-sikap koruptif dan tort para penegak hukum, yaitu kasus yang terjadi tahun 1982. Sakri, seorang buruh galian, telah memenangkan perkara perdata terhadap Kepala Polri. Sakri menggugat Kepala Polri berdasar perbuatan melawan hukum (tort) berdasar Pasal 1365 KUH Perdata akibat penahanan dan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian Resor Kali Malang terhadapnya.

Hasilnya, para pengacara Sakri dapat membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dari aparat kepolisian terhadap Sakri sehingga Kepala Polri dituntut membayar ganti rugi Rp 119 juta rupiah. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Meski akhirnya Mahkamah Agung RI membatalkan putusan itu, keberanian Sakri menggugat kepolisian patut dijadikan contoh bagi korban perbuatan menyimpang aparat kepolisian. Kasus Sakri merupakan tonggak sejarah atau simbol keberanian masyarakat atas penguasa di tengah kondisi dan ciri putusan peradilan yang cenderung memihak dan takut pada penguasa saat itu.

MASALAH integritas aparat penegak hukum sudah menjadi masalah legenda di Tanah Air. Tidak mudah mendapatkan aparat penegak hukum yang baik dan jujur. Masyarakat kita saat ini seharusnya disadarkan, mereka mempunyai hak untuk menuntut, baik secara perdata maupun pidana, terhadap perbuatan aparat hukum yang merugikan hak-hak asasi mereka. Mereka tidak perlu takut menghadapi sepak terjang aparat yang melanggar hukum. Hukum ini harus ditegakkan terhadap siapa pun.

Dengan adanya praktik penegakan hukum sesat sebagaimana dijelaskan di atas, sewajarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut memonitor proses kasus korban penegakan hukum sesat. Bahkan, bila perlu KPK mengambil alih kasus itu karena wewenang KPK tidak saja memberantas korupsi, tetapi juga mencegah dilakukan korupsi semacam itu.

Amir Syamsuddin Praktisi Hukum Jakarta

sumber; http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/02/opini/906274.htm