Thursday, 14 June 2007

Menyelesaikan Perdata Secara Singkat

Oleh WIRAWAN, S.H., Sp.N (LBH Bandung)

SUDAH menjadi rahasia umum, menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan sangat menyita waktu, tenaga dan biaya. Akumulasi kekecewaan antara lain menghasilkan berbagai sindiran, seperti "lapor kambing, hilang sapi" untuk menggambarkan bagaimana besarnya pengorbanan yang harus dikeluarkan pihak yang berperkara tersebut.

Akan tetapi, bagaimana jika ternyata kita terpaksa harus menggugat, menjadi tergugat atau menjadi turut tergugat dalam perkara perdata? Apakah kita dapat berusaha untuk menghindar dari proses pemeriksaan di pengadilan yang sangat menyita waktu, tenaga dan biaya tersebut?

Jawabannya, dapat. Salah satu peluangnya terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Dengan kata lain, jika kita menjadi pihak yang berperkara (penggugat, tergugat maupun turut tergugat), maka kita dapat mengoptimalkan penyelesaian perkara melalui mediasi yang merupakan suatu metode alternatif penyelesaian sengketa atau disingkat dengan istilah MAPS, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau disingkat dengan istilah ADR.

Di negara maju (dan sudah dimulai oleh beberapa perusahaan besar di Indonesia), penyelesaian sengketa melalui MAPS atau ADR bahkan menjadi klausul (pasal) yang selalu dicantumkan dalam kontrak atau perjanjian, sehingga jika ternyata muncul perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaikannya melalui lembaga MAPS atau ADR tersebut (tidak melalui pengadilan). Dari hal ini dapat kita cermati bahwa MAPS atau ADR telah menjadi strategi preventif untuk mencegah "terjebaknya" para pihak dalam proses "gugat menggugat" di lembaga peradilan.

Lembaga apa saja yang masuk sebagai MAPS atau ADR ?

Pada dasarnya seluruh mekanisme penyelesaian perkara perdata yang diselesaikan dengan tidak menggunakan prosedur beracara di pengadilan dapat dikategorikan dalam MAPS atau ADR. Pada saat ini, mekanisme tersebut sering kita dengar dengan istilah :

- Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartit / dua pihak),

- Mediasi / Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh mediator / konsiliator) dan

- Arbitrase ( penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter ).

Di Indonesia MAPS atau ADR ini bahkan telah telah dilembagakan secara permanen, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang dibentuk berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, serta BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang dibentuk berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999.

Apakah MAPS dan ADR adalah konsep negara asing ?

Sebenarnya MAPS atau ADR bukanlah murni konsep negara asing atau negara maju. Mengapa? Karena pada masyarakat adat di Indonesia, sejak dahulu telah dikenal penyelesaian sengketa alternatif, yaitu dengan menggunakan mekanisme penyelesaian secara adat. Dalam proses penyelesaian yang biasanya dipimpin oleh para tokoh atau pemuka adat, pihak-pihak yang bersengketa akan dipertemukan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat masyarakat setempat.

Dalam masyarakat perkotaan di Indonesia, penyelesaian sengketa alternatif tidak lagi menggunakan mekanisme lembaga adat, tetapi menggunakan mediator yang menjadi "penengah" pihak-pihak yang bersengketa. Yang berperan sebagai mediator biasanya adalah pimpinan masyarakat setempat, seperti Ketua RT atau Ketua RW atau bahkan tokoh agama.

Mengapa MAPS dan ADR dinilai prospektif ?

Jawabannya bermacam-macam. Akan tetapi secara sederhana, jika dibandingkan dengan proses pemeriksaan di pengadilan, maka ada beberapa kelebihan yang akan kita dapatkan jika kita menyelesaikan perkara melalui MAPS dan ADR, yaitu :

1. Proses penyelesaian relatif lebih sederhana dan singkat.

Proses penyelesaian dalam MAPS dan ADR dapat dibuat sesederhana mungkin oleh para pihak. Sebagai contoh, dalam menyusun suatu kontrak, para pihak dapat mencantumkan klausul penyelesaian perselisihan dalam dua tahap, yaitu negosiasi dan arbitrase. Dengan kata lain, jika terjadi perselisihan maka para pihak akan menyelesaikannya dengan terlebih dahulu melakukan negosiasi dan jika tidak berhasil maka sengketa akan diserahkan kepada Arbitrase. (Perlu diketahui bahwa putusan arbitrase adalah putusan yang final dan mengikat kedua belah pihak).

Sebaliknya, jika kita menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, maka para pihak wajib mengikuti seluruh proses yang telah diatur dalam hukum acara perdata yang mengatur tata cara pemeriksaaan perkara. Tahap pemeriksaan di pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) berdasarkan hukum acara perdata dimulai dengan pembacaan gugatan, jawaban dan eksepsi, putusan sela, replik, duplik, pemeriksaan alat bukti (bukti surat dan saksi), konklusi atau kesimpulan dan akhirnya putusan majelis hakim. Dalam praktik, dari satu acara pemeriksaan ke acara pemeriksaan selanjutnya akan memakan waktu 1 (satu) minggu. Sehingga jika diestimasi, suatu perkara perdata yang diperiksa oleh pengadilan paling singkat akan memakan waktu 6 (enam) bulan.

Mengapa proses penyelesaian di pengadilan bisa sangat lama ?

Penyebabnya beragam, mulai dari adanya hak para pihak untuk tidak hadir jika berhalangan (dan sering dimanfaatkan untuk mengulur waktu) sampai terbatasnya ruang sidang dan jumlah hakim yang memeriksa perkara (bila dibandingkan dengan berjubelnya kasus yang harus diperiksa pengadilan). Perlu diketahui, hakim yang memeriksa perkara perdata, juga bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara pidana. Karenanya tidak mengherankan jika tumpukan perkara (perdata dan pidana) membuat proses pemeriksaan perkara di pengadilan sering terkesan sangat lamban dan birokratis.

Selain harus mengikuti proses di pengadilan negeri, jika salah satu pihak tidak puas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi bahkan kasasi ke Mahkamah Agung. Tidak mengherankan jika dalam praktik sering ditemukan suatu kasus yang telah sampai ke Mahkamah Agung, ternyata tidak kunjung selesai setelah berjalan selama 5 (lima) tahun lebih, karena di Mahkamah Agung sendiri telah bertumpuk ribuan berkas perkara yang belum diperiksa.

2. Tingkat kerahasiaan para pihak yang berperkara lebih terjaga.

Berbeda dengan proses pemeriksaan di pengadilan yang berpotensi terpublikasi secara luas (karena menurut undang-undang harus terbuka untuk umum), maka proses pemeriksaan perkara dalam MAPS dan ADR dapat dilakukan secara tertutup. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir potensi terpublikasinya sengketa yang mengakibatkan berkurangnya kredibilitas atau rusaknya nama baik para pihak.

3. Hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat dijaga.

Di dalam pemeriksaan di pengadilan, suasana yang terbangun antara penggugat dan tergugat cenderung konfrontatif, di mana para pihak akan berusaha semaksimal mungkin untuk saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan di depan majelis hakim. Di dalam MAPS atau ADR suasana yang terbangun tidaklah demikian. Kedua belah pihak akan termotivasi untuk mencari solusi yang terbaik tanpa harus saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan (hal ini sering ditemukan dalam proses negosiasi dan mediasi, yang mengutamakan prinsip win-win solution).

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa syarat mutlak dari MAPS atau ADR adalah adanya itikad baik dan kejujuran dari kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, disamping adanya kesadaran terhadap kelebihan sebagaimana tersebut diatas, faktor penghormatan para pihak terhadap proses pemeriksaan dan kepatuhan para pihak untuk melaksanakan putusan lembaga ini merupakan faktor utama efektifnya MAPS atau ADR.

Mudah-mudahan MAPS atau ADR semakin tersosialisasi dengan baik dan semakin diterima sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Semoga bermanfaat ***

sumber; http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/18/teropong/konsul_hukum.htm

1 comment:

David Pangemanan said...

MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi
dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan
mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675