Thursday 14 June 2007

PENEGAKKAN HUKUM DAN HAM

Pergeseran paradigma (paradigm shift) adalah sebuah keniscayaan sejarah. Sebuah kemapanan yang kita anggap tertata hari ini, mungkin besok akan menghadapi tawaran alternatif lain dan kemudian berikutnya akan terus berganti menjadi sintesa baru. Menurut Thomas Khun, “paradigma baru” adalah siklus perubahan yang berlangsung dalam aras mode of thought, mode of inquiry and mode to actions (cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak). Demikian disampaikan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalaltta ketika memberi Pembekalan Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Selasa, 12 Juni 2007 di Kampus PTIK Jakarta .

Menurut Andi Mattalatta, beberapa perubahan dalam kehidupan kebangsaan saat ini dapat dirunut dalam 3 (tiga) lingkup besar : Pertama, Otokrasi Menuju Demokrasi. Dalam perjalanan kehidupan kenegaraan ini terjadi perubahan yang cukup mendasar, dengan munculnya perimbangan kekuasaan serta struktur politik serta institusi baru sebagai penunjang konsolidasi demokrasi. Diberbagai cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah muncul berbagai lembaga yang sebelumnya tidak ada, seperti lahirnya DPD RI, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.

Perubahan juga menyentuh pada wilayah regulasi baru dalam kehidupan politik bangsa. Regulasi baru tersebut melahirkan tatanan baru dalam wilayah infrastruktur dan supra struktur politik di Indonesia. Sementara di aras masyarakat madani (civil society), publik memiliki kemampuan artikulatif untuk memperkuat posisi mereka, dengan munculnya berbagai organisasi swadaya masyarakat (LSM atau NGO’s). Atmosfir demokratis yang juga terbilang fenomenal adalah adanya kebebasan pers dan kebebasan berkomunikasi di media massa, baik cetak maupun elektronik.


Oleh karena itu, agenda kita hari ini adalah melakukan reformulasi atas berbagai bidang kehidupan masyarakat, agar bisa beradaptasi dengan perubahan yang terus berlangsung.

Kedua. Sentralisasi Menuju Otonomi Daerah. Resultan perubahan yang mewarnai dinamika kekuasaan di Indonesia adalah terakomodasinya tuntutan otonomi daerah. Hakikatnya, otonomi daerah adalah mendekatkan pengambilan keputusan dan kebijakan publik, antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam tataran administratif, otonomi daerah berarti berlangsungnya proses distribusi dan desentralisasi kekuasaan (antara pusat dan daerah).


Pada satu perspektif langgam kekuasaan seperti ini tentu saja bukan tanpa resiko. Kekhawatiran banyak pihak, akan timbulnya anomali (ketidakteraturan, ketiadaan pedoman). Seperti, lahirnya ”raja-raja” kecil di daerah dan lahirnya berbagai macam Peraturan Daerah yang berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kebanyakan dari Perda itu mengatur masalah pajak, retribusi, dan aneka rupa pungutan dari pemerintah terahdap rakyatnya sendiri.

Ketiga Pemisahan Peran TNI – POLRI. Perubahan yang cukup pesat di masyarakat, ditandai dengan makin berkembangnya tuntutan terhadap supremasi hukum, Hak Asasi Manusia, demokratisasi, akuntabilitas dan transparansi. Seiring dengan hal itu, penegasan dan pemisahan peran Pertahanan dan Kemanan menjadi keniscayaan. Hal ini telah mendorong terjadinya amandeman pada UUD 1945. Dalam perubahan Undang Undang Dasar Republik Indonesia, Tahun 1945, Pasal 30 khususnya pada pasal 4 telah mengamanahkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Selain itu, tuntutan Reformasi di bidang pertahanan negara juga telah melahirkan Ketetapan (TAP) MPR nomor VI tahun 2000, tentang Pemisahan TNI dan POLRI dan TAP MPR nomor VII tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI.


Dalam UU No.2 Tahun 2002 juga telah mempertegas fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Andi Mattalatta untuk menegakkan hukum dan ham di indonesia beberapa permasalahan utama yang dihadapi :



1. Aturan Perundang-Undangan. Untuk mendesain segala produk perundang-undangan maka pemerintah dengan DPR menyepakati untuk dilakukan dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Prolegnas memiliki prioritas, skala kepentingan, urgensitas dan pilihan strategis terhadap kebutuhan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.


Problem-problem mendasar di bidang regulasi HAM, menurut Andi mattalatta adalah : Pertama, terjadinya penumpukan beberapa peraturan perundang-undangan berdimensi HAM yang masih menjadi daftar di Prolegnas, namun belum mendapatkan tindak lanjut. Kedua, kontroversi di dalam negeri dan perbedaan pandangan (perspektif) terhadap skala prioritas terhadap Undang Undang yang berkaitan dengan HAM.


Ketiga, kemampuan dalam merespon isu-isu internasional di bidang HAM, seperti terorisme, kejahatan korporasi, perusakan lingkungan, dan hak-hak konsumen, juga masih terasa lemah.

2. Masalah Penataan Kelembagaan Substansi dari penataan kelembagaan dalam institusi penegak hukum mengarah pada pengaturan yang lebih jelas, dalam hal fungsi, peran, kewenangan, tugas pokok dan program kerja.


Proses penataan juga akan memperjelas koordinasi dan pola partnership (kerjasama) antara berbagai lembaga penegak hukum. Sehingga tidak akan terjadi fenomena overlapping (tumpang tindih) dalam agenda penegakkan hukum di Indonesia. Penataan lembaga penegak hukum juga sangat ditentukan oleh kemampuan setiap institusi untuk mampu meraih kepercayaan publik (public trust).

3. Aspek Profesionalitas Aparatur Penegak Hukum. Sorotan publik yang tak pernah berkurang adalah masalah profesionalitas aparatur penegakan hukum. Seolah ada kekurangselarasan antara tuntutan dan layanan yang diberikan, dalam mekanisme penyelesaian masalah hukum dan penegakan HAM. Sudah tentu kesalahan tidak berada dalam satu faktor. Melainkan multidimensi dan saling terkait. Tetapi titik berat bisa diarahkan kepada aspek profesionalitas, kinerja dan produktivitas aparat penegak hukum. Disisi lain mekanisme reward and punishment juga belum optimal.



4. Masalah Budaya Birokrasi. isu reformasi birokrasi dan budaya birokrasi, tentunya kita tidak bisa lepas dari prinsip-prinsip Tata Pemerintahan yang baik (Good Governance). Dalam konteks penegakkan hukum, reformasi (budaya) birokrasi diharapkan berlangsung dalam kaidah efisiensi dan efektivitas. Posisi strategis birokrasi, sebagai instrumen pendukung pengambilan keputusan oleh otoritas kekuasaan negara, harus didorong untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance.

5. Pergeseran Nilai Dalam Masyarakat.


Ledakan partisipasi politik yang melanda masyarakat kita nyaris melahirkan inflasi tuntutan. Hampir semua bidang kehidupan mendapat sorotan dan kritik pedas dari publik. Tak jarang bahkan bermunculan ide-ide yang sifatnya dekonstruksi atau pembongkaran terhadap pranata tertentu.

Dalam bidang penegakkan Hukum dan HAM, ledakan partisipasi dan aspirasi ini jauh lebih kuat. Menyebar di level individu, organisasi, dan bahkan jaringan yang melibatkan LSM atau NGO’s dunia internasional.

Untuk itu, dalam rangka penegakkan Hukum dan HAM di Indonesia, skenario penguatan law enforcement (penegakkan hukum) dan HAM yang bisa diajukan adalah merumuskan grand design, seraya diikuti oleh action plan yang sistematis, agar seluruh kekuatan yang terkait dengan penegakkan hukum dan HAM, memiliki pedoman yang sama. Maka Strategi yang perlu dilakukan adalah :

  1. Pembinaan hukum nasional. Masalah pembinaan hukum membutuhkan pendekatan dan analisis multi dimensi, baik dari sisi politik, ekonomi, pertahanan, keamanan, dan keutuhan NKRI.
  2. Pembentukan hukum. Dimaksudkan sebagai reproduksi dan peningkatan instrumen hukum yang berkaitan dengan aneka permasalahan yang dihadapi.
  3. Penegakan hukum dan perlindungan HAM. Bagian ini berkaitan erat dengan wibawa dan aspek kualitatif, yaitu keyakinan dan rasa keadilan masyarakat terhadap pemberlakuan penegakan hukum dan perlindungan HAM.
  4. Pelayanan hukum. Kemampuan segenap aparat penegak hukum dalam memberikan kualitas layanan hukum, tanpa diskriminasi dan pembedaan. Kaidah persamaan di depan hukum, harus benar-benar diterapkan.
  5. Penyuluhan hukum dan konsultasi hukum. Bagian ini adalah vital dan strategis, terkait dengan persoalan sosialisasi, komunikasi, serta institusionalisasi. Harus ada upaya terus menerus, untuk mengembangkan pembinaan hukum nasional, sehingga mampu menjawab tantangan zaman dan dinamika perubahan.
  6. Sarana dan prasarana hukum. Seluruh upaya dalam penegakkan hukum, akan mengalami percepatan optimal dan hasil memuaskan apabila mendapat sokongan infrastruktur yang lengkap. Keniscayaan hadirnya sarana dan prasaran hukum layak menjadi agenda bersama. Termasuk dalam hal ini kemampuan kita untuk mendorong lahirnya lembaga-lembaga baru yang bersifat penyokong, serta peningkatan kualitas SDM dan fasilitas pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas Polri maka Arah kebijakan strategi POLRI yang mendahulukan tampilan selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dimaksud bahwa, dalam setiap kiprah pengabdian anggota POLRI, harus sejalan dengan paradigma barunya yang mengabdi bagi kepentingan masyarakat.

Landasan hukum pelaksanaan tugas pokok POLRI dalam penegakkan hukum dan HAM sesuai dengan amanat Tap MPR VII, Tahun 2000, adalah sebagai berikut:


Pasal 6: Ayat (1): Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ayat (2): Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.

Maka sesuai dengan salah satu strategi dan kebijakan penegakkan hukum dan HAM maka POLRI sebagai Institusi penegak Hukum diharapkan bersama dengan Aparat Penegak Hukum lainnya untuk terus mengupayakan perwujudan kebijakan dan strategi tersebut. Hal ini tentunya dilakukan dengan bersama meningkatkan koordinasi dan kerjasama demi tegaknya Supremasi Hukum dan HAM untuk menunjang tercapainya kehidupan masyarakat yang aman, bersatu, rukun, damai, adil, dan sejahtera. (Biro Humas dan HLN/ Hasbullah)

sumber; http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/xUmum/penegakan+hukum+dan+ham.htm



3 comments:

Kia said...

Hai..
Saya punya tugas HAM, pertanyaannya adalah, mengapa pendekatan dalam penegakkan HAM dilakukan secara kategorial?
Terima kasih...

Kia said...

Saya punya tugas kuliah, pertanyaannya, mengapa dalam menegakkan HAM dilakukan dengan pendekatan secara kategorial?
Terimakasih...

Kia said...

Saya punya tugas kuliah, pertanyaannya, mengapa dalam menegakkan HAM dilakukan dengan pendekatan secara kategorial?
Terimakasih...