Pengadilan Agama Jakarta Timur, pada awal bulan juli 2003
mengabulkan permohonan cerai yang di ajukan oleh seorang dokter, untuk
menceraikan istrinya karena istrinya menolak untuk di madu, setelah perkawinan
mereka berumur 17 tahun.
Kasus ini
berawal saat sang istri mendapat informasi kalau suaminya, telah menjalin
hubungan dengan karyawannya. Singkat cerita, sang istri melakukan penyelidikan
dan akhirnya bisa membuktikan kalau benar suaminya menjalin hubungan dengan
karyawannya tersebut.
Setelah
mencari tahu kediaman WIL tersebut, sang istri kemudian mendatanginya dan
menanyakan perihal tersebut ke WIL dan orang tuannya. Mereka membenarkan kalau
pak dokter memang telah menjalin hubungan dengan WIL tersebut. Kemudian hal ini disampaikan kepada sang suami oleh si istri, si suami
mengaku dan akhirnya mengacukan tawaran-“ KAMU PILIH MANA, DIMADU ATAU DICERAI?”,
Sang istri dengan sedih dan berat hati memilih CERAI dari pada dimadu
sekalipun ia masih mencintai suaminya, bapak dari ketiga putra-putrinya yang
tengah remaja.
Selama proses
perceraian yang berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, si dokter dan suami
tetap tinggal serumah, tanpa komunikasi tanpa tegur sapa. Bisa dibayangkan
kehidupan macam apa yang di lakoni kedua insan tersebut. Keriangan di rumah
selama 17 tahun sirna tanpa bekas. Anak jadi bimbang
dan bingung menghadapi keriangan yang berubah menjadi kegamangan, kita
hanya berharap semoga psikologi mereka tidak terganggu akibat ulah orangtua
mereka, akibat ulah bapak mereka.
Proses
persidangan menjadi agak lama, karena adanya pertentangan dalam pembagian harta
gono-gini, harta yang didapatkan selama masa perkawinan yang mereka jalani
selama 17 tahun.
Selama proses
persidangan di pengadilan, si istri tetap memperlihatkan ketabahannya, meskipun
sesekali ia tidak dapat menahan rasa sedih, rasa yang tak mungkin disembunyikan
seorang ibu dari tiga anak. Ia harus kuat berjuang
untuk mendapatkan haknya sebagai istri. Ia harus kuat, karena anak-anaknya
sepenuhnya bergantung ke dia, para anak begitu dekat dengan sang ibu. Para anak
yang telah mulai mengerti persoalan yang di hadapi orang tuanya, memberi support
kepada sang ibu. Hal ini yang membuat sang ibu harus berjuang untuk mendapatkan
haknya dari harta gono-gini. Bukan untuk kepentingan dirinya semata tapi demi
anak-anaknya yang kelak akan ada dalam pengasuhannya.
Setelah melalui proses persidangan yang melelahkan, dimana
si suami menghadirkan satu orang saksi dan sang istri menghadirkan dua orang
saksi dipersidangan untuk menguatkan bukti masing-masing pihak di muka sidang,
majelis kemudian mengeluarkan putusannya.
Majelis hakim dalam putusannya, selain memutuskan mengabulkan permohonan cerai
yang di ajukan sang suami yang juga oleh si istri
telah menyatakan bersedia untuk dicerai, ketiga anak di serahkan
pengasuhannya kepada istri tanpa mengurangi hak suami sebagai ayah dari sang
anak, serta membagi harta secara rata, kecuali 2 buah rumah yang menjadi milik
si suami.
Menjadi beban
bagi sang istri -karena rumah yang mereka huni selama ini harus ia tinggalkan
karena suaminya berkeras agar istrinya segera meninggalkan rumah- kemana ia
harus tinggal untuk merawat dan menyekolahkan anak-anaknya.
Dibalik
kesedihan sang istri, ia tetap berujar “suatu saat jika suamiKU ingin
kembali padaku, saya akan menerimanya” tapi, dengan catatan bahwa suaminya
sudah dalam keadaan tidak mampu lagi secara kesehatan dan terkhusus untuk
biologis. Si istri bersedia merawat suaminya. SUNGGUH MULIA! (I N )
sumber; http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=10
1 comment:
Yang jadi pertanyaan kenapa hukum Indonesia tidak melindungi hak perempuan dan anak-anaknya dalam kondisi seperti ini?
Post a Comment