Tuesday, 3 July 2007

DIMADU ATAU CERAI

17/07/2003 18:16

Pengadilan Agama Jakarta Timur, pada awal bulan juli 2003

mengabulkan permohonan cerai yang di ajukan oleh seorang dokter, untuk

menceraikan istrinya karena istrinya menolak untuk di madu, setelah perkawinan

mereka berumur 17 tahun.

Kasus ini

berawal saat sang istri mendapat informasi kalau suaminya, telah menjalin

hubungan dengan karyawannya. Singkat cerita, sang istri melakukan penyelidikan

dan akhirnya bisa membuktikan kalau benar suaminya menjalin hubungan dengan

karyawannya tersebut.

Setelah

mencari tahu kediaman WIL tersebut, sang istri kemudian mendatanginya dan

menanyakan perihal tersebut ke WIL dan orang tuannya. Mereka membenarkan kalau

pak dokter memang telah menjalin hubungan dengan WIL tersebut. Kemudian hal ini disampaikan kepada sang suami oleh si istri, si suami

mengaku dan akhirnya mengacukan tawaran-“ KAMU PILIH MANA, DIMADU ATAU DICERAI?”,

Sang istri dengan sedih dan berat hati memilih CERAI dari pada dimadu

sekalipun ia masih mencintai suaminya, bapak dari ketiga putra-putrinya yang

tengah remaja.

Selama proses

perceraian yang berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, si dokter dan suami

tetap tinggal serumah, tanpa komunikasi tanpa tegur sapa. Bisa dibayangkan

kehidupan macam apa yang di lakoni kedua insan tersebut. Keriangan di rumah

selama 17 tahun sirna tanpa bekas. Anak jadi bimbang

dan bingung menghadapi keriangan yang berubah menjadi kegamangan, kita

hanya berharap semoga psikologi mereka tidak terganggu akibat ulah orangtua

mereka, akibat ulah bapak mereka.

Proses

persidangan menjadi agak lama, karena adanya pertentangan dalam pembagian harta

gono-gini, harta yang didapatkan selama masa perkawinan yang mereka jalani

selama 17 tahun.

Selama proses

persidangan di pengadilan, si istri tetap memperlihatkan ketabahannya, meskipun

sesekali ia tidak dapat menahan rasa sedih, rasa yang tak mungkin disembunyikan

seorang ibu dari tiga anak. Ia harus kuat berjuang

untuk mendapatkan haknya sebagai istri. Ia harus kuat, karena anak-anaknya

sepenuhnya bergantung ke dia, para anak begitu dekat dengan sang ibu. Para anak

yang telah mulai mengerti persoalan yang di hadapi orang tuanya, memberi support

kepada sang ibu. Hal ini yang membuat sang ibu harus berjuang untuk mendapatkan

haknya dari harta gono-gini. Bukan untuk kepentingan dirinya semata tapi demi

anak-anaknya yang kelak akan ada dalam pengasuhannya.



Setelah melalui proses persidangan yang melelahkan, dimana

si suami menghadirkan satu orang saksi dan sang istri menghadirkan dua orang

saksi dipersidangan untuk menguatkan bukti masing-masing pihak di muka sidang,

majelis kemudian mengeluarkan putusannya.


Majelis hakim dalam putusannya, selain memutuskan mengabulkan permohonan cerai

yang di ajukan sang suami yang juga oleh si istri

telah menyatakan bersedia untuk dicerai, ketiga anak di serahkan

pengasuhannya kepada istri tanpa mengurangi hak suami sebagai ayah dari sang

anak, serta membagi harta secara rata, kecuali 2 buah rumah yang menjadi milik

si suami.

Menjadi beban

bagi sang istri -karena rumah yang mereka huni selama ini harus ia tinggalkan

karena suaminya berkeras agar istrinya segera meninggalkan rumah- kemana ia

harus tinggal untuk merawat dan menyekolahkan anak-anaknya.

Dibalik

kesedihan sang istri, ia tetap berujar “suatu saat jika suamiKU ingin

kembali padaku, saya akan menerimanya” tapi, dengan catatan bahwa suaminya

sudah dalam keadaan tidak mampu lagi secara kesehatan dan terkhusus untuk

biologis. Si istri bersedia merawat suaminya. SUNGGUH MULIA! (I N )

sumber; http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=10


1 comment:

Jabberwocky said...

Yang jadi pertanyaan kenapa hukum Indonesia tidak melindungi hak perempuan dan anak-anaknya dalam kondisi seperti ini?