Saturday 19 May 2007

Keppres Pengadilan HAM Ad Hoc Terlambat

>Selasa, 1 Mei 2001

Dr Todung Mulya Lubis:
Keppres Pengadilan HAM Ad Hoc Terlambat

Jakarta, Kompas

Praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis menyatakan, dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk perkara pelanggaran HAM di Timor Timur (Timtim) dan Tanjung Priok sudah sangat terlambat. Karena masyarakat internasional sudah menunggu amat lama kehendak Indonesia untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM, khususnya di Timtim dan kini sudah mulai kehilangan kepercayaan akan kesungguhan pemerintah.

Walaupun demikian, Lubis kepada pers di Jakarta, Sabtu (28/4) mengakui, keluarnya Keppres No 53/2001 itu tetap perlu disambut positif oleh masyarakat. "Sekarang terpulang kepada pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung dan pengadilan untuk membuktikan, bahwa proses hukum terhadap pelanggaran HAM di Timtim bisa berjalan serius, terbuka, dan fair," jelasnya.

Sebelumnya, juru bicara Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Fred Eckhard menyebutkan, PBB menyambut baik rencana Pemerintah Indonesia untuk menggelar pengadilan ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timtim pascapenentuan pendapat, September 1999.

Lubis mengakui, masyarakat internasional pun menyambut positif pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timtim. Tetapi, mereka mengkhawatirkan pengadilan itu, karena hanya mempunyai wewenang yang terbatas, yakni mengadili kasus pelanggaran HAM pascapenentuan pendapat di Timtim, tanggal 30 Agustus 1998. Tak ada kepastian, kasus pelanggaran HAM sebelum jajak pendapat-yang terkait pula dengan pelanggaran HAM setelah jajak pendapat-dapat diadili pula di Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut.

"Kita tidak menuntut pengadilan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa Santa Cruz atau pada awal agresi ke Timor Timur di tahun 1974, tetapi masuk akal mengadili pelanggaran HAM yang terjadi sejak diumumkannya dua opsi oleh pemerintahan Habibie atau sejak ditandatanganinya Perjanjian New York. Kalau kewenangan Pengadilan HAM Ad Hoc cuma dibatasi pada peristiwa pasca penentuan pendapat dikhawatirkan akan melepaskan sejumlah pelaku pelanggaran HAM dari jerat hukum," tandas Lubis, yang pernah menjadi Wakil Ketua Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timtim.

Kesulitan lain

Lubis juga menandaskan, pelaksanaan Keppres No 53/2001 akan banyak mengalami kendala. Kesulitan itu, misalnya untuk penunjukkan hakim ad hoc dan jaksa penuntut umum ad hoc. Seseorang dapat diangkat sebagai jaksa penuntut umum ad hoc asal berpengalaman sebagai penuntut umum.

"Artinya, hanya mantan jaksa yang qualified yang dapat diangkat sebagai penuntut umum ad hoc. Kesulitannya adalah amat sukar mencari mantan jaksa yang menguasai doktrin dan hukum HAM. Dengan syarat ini membikin tidak seorang pun dari kalangan aktivis HAM yang qualified sebagai penuntut umum ad hoc. Ini kelemahan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," katanya lagi.

Persoalan lain, jelasnya, adalah pencantuman masa jabatan hakim ad hoc selama lima tahun. Ada yang menafsirkan hakim ad hoc hanya terikat kontrak selama lima tahun. Ini membuat keinginan untuk menjadi hakim ad hoc menjadi berkurang.

Lubis menyarankan, supaya Komisi Nasional (Komnas) HAM meminta klarifikasi pada Presiden tentang perekrutan hakim ad hoc dan jaksa penuntut umum ad hoc tersebut. Tetapi, yang terpenting, Jaksa Agung harus segera melimpahkan perkara pelanggaran HAM di Timtim sehingga pengadilan HAM Ad Hoc dapat segera dibentuk. (tra)

source; http://www.asiamaya.com/berita_hukum/komentar_hukum/todung/terlambat.html

No comments: