Meskipun didalam undang – undang dasar telah menjamin tentang hak untuk memperoleh keadilan, namun pada kenyataanya ketentuan dalam undang – undang tersebut belum atau masih sulit diterapkan dalam masyarakat, sehingga sampai saat ini masih saja terdapat tindakan sewenang – wenang dari penguasa yang merupakan cermin bahwa asas negara hukum dan sila ke 5 ” keadilan bagi seluruh rakyat indonesia ” belum sepenuhnya dapat diterapkan sekaligus bentuk ketidak tegasan hukum di negara kita.
Dalam hal untuk mendapatkan keadilan, sebagian besar masyarakat indonesia menitik beratkan pada kinerja alat perlengkapan negara khusunya aparat penegak hukum, artinya baik buruknya kinerja aparat penegak hukumlah yang menjadi sorotan masyarakat dalam memperoleh keadilan.
Tentunya harus ada ketegasan dan keberanian dari para penegak hukum untuk melaksanakan kewajibanya menurut ketentuan undang – undang yang berlaku.
Sebagai contoh, dalam pengungkapan berbagai kasus yang pernah terjadi di indonesia, yang oleh beberapa pihak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, sampai saat ini masih menimbulkan tanya tanya oleh masyarakat indonesia.
Meskipun, ” akhirnya pada akhir Mei 2003 pemerintah melalui Depkeh-HAM menyampaikan rancanganundang – undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (RUU KKR) kepada DPR. KKR merupakan implementasi dari Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang pemantapan persatuan dan kesatuan nasional guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu juga sebagai amanah UU No.26 tahun 2000 tentang peradilan hak asasi manusia...”(3)
Rancangan Undang – undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi melahirkan UU No. 27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi, yang diharapkan dapat menjawab persoalan sulitnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun sepertinya pembentukan lembaga tersebut masih belum sepenuhya dapat mengungkap
kasus – kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti tragedi trisakti pada 12 mei 1998
(3) Gatot Sugiharto. SH. ” jurnal ilmu hukum novelty” Vol. 2, No. 2 agustus 2005. Hal. 50
yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, tragedi semanggi I yang terjadi pada 13 november 1998 menewaskan sekurangnya lima mahasiswa, sedangkan tragedi semanggi II terjadi 24 september 1999 menewaskan lima orang. Hal ini dibuktikan dengan adaya rencana pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, yang masih menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan.
Seperti dikutip harian KOMPAS, rabu 7 maret 2007, “pengungkapan kasus trisakti, semanggi I dan II, serta kerusuhan mei 1998 tampaknya bakal tamat riwayatnya. Peta plitik di DPR belum menunjukan kemauan kuat mengungkap tuntas kasusu ini. Mayoritas fraksi menolak pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc dengan berbagai alas an”. Berbagai perbedaan pendapat dari kalngan legislative maupu yudikative seolah – olah semakin membuat runyap pengungkapan kasus tersebut, sehingga sangat kecil kemungkinan beberapa kasus tersebut dapat terungkap. Seperti juga dikutip harian KOMPAS pada tanggal yang sama mengenai pernyataan Jaksa Agung ”...bahwa kasus trisakti, semanggi I dan II (TSS), bukan pelanggaran HAM berat, sedangkan dari sekretaris F-PDIP Jacobus Kamarlo Mayong Padang berpendapat kasus TSS dan mei merupakan persoalan kemanusiaan dan keadilan serta esensi reformasi.
No comments:
Post a Comment